Penurunan penerimaan negara akibat deflasi komoditas dan energi tersebut menimbulkan tekanan pada anggaran negara seperti diberikan pada Tabel-2.
Tabel-2 : Defisit - Beban Utang - GDP
[caption caption="Prepared by Arnold M."]
Dari Tabel-2, pertumbuhan India paling tinggi tetapi defisit anggaran di atas 7% dan rasio utang di atas 60% (walaupun trend rasio utang turun). Malaysia defisitnya di atas 3% demi menjaga tingkat pertumbuhan, seperti juga Afrika Selatan yang mengalami defisit hingga 4%. Defisit Rusia di atas 5% walaupun rasio utangnya di bawah 30% dan menanggung pertumbuhan negatif. Kondisi Brazil sangat parah karena defisit hampir 8%, rasio utang di atas 60% dan pertumbuhan GDP negatif hingga 3,8%. Dari indikator defisit dan rasio utang, Indonesia dapat dinilai baik dengan pencapaian pertumbuhan 2015 sebesar 4,79% dalam indikator defisit dan utang tidak melampau ambang batas. (Defisit tidak lebih 3% dan DSR tidak lebih 60%).
Efek spiral deflasi komoditas dan energi berlanjut dengan peningkatan utang yang menekan perekonomian Brazil, Rusia dan juga Afrika Selatan. Berdasarkan prediksi, dengan tekanan pertumbuhan ekonomi global, yang juga dialami "Developed Country" seperti Euro Area, US, dan China, kenaikan harga komoditas dan minyak mentah belum akan terjadi dalam 2-3 tahun ke depan.
Dampak Nilai Tukar
Dari enam mata uang, dampak deflasi diberikan pada Grafik dan Tabel-3.
Grafik tren Indeks Nilai Tukar Efektif (dengan memperhitungkan Consumer Price Index atau inflasi tahunan) terhadap USD.
Grafik-3 : Indeks Nilai Tukar Efektif
[caption caption="Prepared by Arnold M"]
Tabel-4 : Perubahan Nilai Tukar Efektif Dalam 3 Tahun