Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pembangunan Infrastruktur Bagai "Bridge Over Troubled Water"

19 Februari 2016   17:14 Diperbarui: 19 Februari 2016   17:45 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bridge Over Water"][/Bridge Over Water]

Fenomena Internet, Gadget dan Media Sosial

Tidak dapat disangkal bahwa internet sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan keseharian kehidupan masyarakat di Indonesia dalam Era Digital World saat ini. Mengutip pernyataan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hingga akhir 2015 pengguna internet di Indonesia telah mencapai 88,1 juta dengan hampir 50% merupakan pengguna harian melalui berbagai perangkat seperti komputer termasuk notebook, tablet; juga smartphone atau bahkan smart-tv. Jika dilihat berdasarkan durasi, akses terhadap internet lebih panjang dibandingkan durasi menonton acara televisi. Akses terhadap internet dengan durasi panjang meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan gawai (gadget) dengan berbagai varian sistem operasi seperti Android, iOS (Apple), Blackberry, Windows Mobile, Ubuntu.

Gambaran Pertumbuhan Gawai di Indonesia diberikan pada Grafik-1 berikut ini.

[caption caption="Pertumbuhan Gawai Indonesia"]

[https://id.techinasia.com/jumlah-pengguna-smartphone-di-indonesia-2018]

Berdasarkan proyeksi tersebut, pada 2018 sekitar 40% penduduk Indonesia akan menggunakan gawai dan akses terhadap internet akan lebih besar atau dapat mencapai 50% -60% penduduk.

Sejalan dengan perkembangan internet dengan dukungan penuh Teknologi Informasi dan Telekomunikasi (TIK - telematika), turut juga berkembang pesat layanan Over The Top, yang berupa konten (atau aplikasi) bermuatan informasi atau multimedia (teks, suara, gambar (image)) yang menyebar dan berpropagasi melalui jaringan internet.

Sebutan media sosial (medsos) menjadi jargon populer yang berkaitan dengan penggunaan seperti Facebook, Twitter, Linkedin, Instagram, Pinterest, Tumblr, Flickr,  dan Penyampai Pesan Instan (Instant Messenger) seperti Whatsapp, Line, BBM (Lihat artikel : Top 15 Most Popular Social Networking Sites - February 2016)

Gambaran penggunaan Instant Messenger global hingga Januari 2016 diberikan pada Grafik-2.

[caption caption="Instant Messenger Statistics"]

Sumber Informasi : Statistic.com

Melalui medsos dan pesan instan, informasi menyebar pesat dan pengguna medsos lebih bergantung serta mengandalkannya dibandingkan media televisi atau media cetak. Dalam dunia yang terhubung (connected world), informasi sehat dan sesat berbaur sehingga memunculkan sikap ikut-ikutan (herding) dan berimplikasi pada fenomena Paradoks Kepemimpinan dan Paradoks Konektivitas (Lihat artikel : Krisis di Ujung Terminal KA Cepat). Pada sisi lain, dengan internet dan berbagai konten termasuk media sosila, bertumbuh ekonomi digital dan sejalan dengan keinginan Presiden Jokowi yang diungkapkan saat berkunjung ke Silicon Valley pada 17 Februari 2016.

Telekomunikasi sebagai Teladan

Tidak dapat disangkal bahwa pertumbuhan internet dan ekonomi digital bergantung pada ketersediaan jaringan telekomunikasi yang merupakan salah satu unsur infrastruktur (Tentang lngkup infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial, lihat Perpres 38/2015, BAB III, Pasal 5.2 butir (a), hingga (s), pada butir (h) : infrastruktur telekomunikasi dan informatika).

Merujuk catatan masa lalu, ada 2(dua) titik penting dalam perkembangan telekomunikasi Indonesia. Pertama terobosan pemerintah saat itu untuk menghadirkan Satelit Palapa, yang walaupun harus berutang dalam skema IGGI, yang diluncurkan pada 8 Juli 1976 dari Florida, USA, Sebagai kelanjutannya, Satelit Palapa menghadirkan Sistem Komunikasi Jarak Jauh menerobos hambatan komunikasi suara langsung (via telepon) dan terjadinya siaran nasional televisi (waktu itu hanya TVRI). Terobosan lain berupa deregulasi industri telekomunikasi Indonesia sejak pertengahan 1990'an yang ditandai dengan keterlibatan pemain non pemerintah. Sebagai implikasi adalah deregulasi kepemilikan usaha; dua badan usaha milik negara menjadi perusahaan publik masing-masing Indosat (1994) dan Telkom (1995). Bersama dengan kehadiran operator non pemerintah pada komunikasi selular, pertumbuhan infrastruktur telekomunikasi berkembang pesat dan menjangkau hampir seluruh masyarakat (Rerata berdasarkan BPS per 2014, pengguna selular diseluruh Indonesia >50% penduduk); yang berlanjut dengan kehadiran komunikasi data (dengan teknologi 3G dan 4G).

Lesson learned atau pembelajaran dari sektor telekomunikasi, sebagai salah satu sektor dalam infrastrutur, selayaknya dapat menjadi rujukan dalam percepatan pertumbuhan infrastruktur dan sektor industri yang memanfaatkannya untuk kemudian berkembang dan dapat dirasakan bagi masyarakat.

Infrastruktur dan Pertumbuhan Perekonomian

Dalam kondisi ekonomi yang mengalami penurunan, dari pandangan dan pemikiran Keynesian Economics, pembangunan infrastruktur yang sarat tenaga kerja merupakan cara untuk meningkatkan lapangan kerja dan upah; yang kemudian akan berdampak pada peningkatan permintaan sehingga mempercepat pemulihan ekonomi.

Berdasarkan catatan, resep pembangunan infrastruktur ini telah digunakan pada masa lalu seperti di Amerika (USA) pasca Perang Dunia-I (PD) masa kepemimpinan Presiden F.D. Roosevelt (FDR) yang diteruskan usai Perang Dunia-II masa Presiden Harry Truman dan Eisenhower (Ike) dengan fokus pada pembangunan perumahan (public housing) serta transportasi. Pemulihan perekonomian Eropa Barat pasca PD-II juga menggunakan cara serupa dengan kehadiran Marshall Plan yang diinisiasi pemerintah US dan mirip dengan kebijakan yang dilakukan di Jerman masa Nazi dan Hitler saat membangun Autobahn. Pola yang serupa juga digunakan dalam pemulihan Korea Selatan pasca perang semenanjung Korea dan China dengan tema Reformasi Ekonomi masa pemerintahan Deng; melalui pembangunan infrastruktur yang mendukung pengembangan industri khususnya pangan serta peningkatan produksi.

Belum cukup catatannya jika tidak merujuk pada kebijakan pemerintah Indonesia era Order Baru yang berbasis tahapan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dimulai sejak 1969, yang diawali dengan pengembangan infrastruktur untuk mendukung sektor pangan dan pada tahapan selanjutnya insfrastruktur untuk mendukung sektor manufacturing. Strategi pembangunan ala Repelita erat dengan pemikiran Mafia Berkeley dengan pelaku seperti Widjojo Nitisastro, Emiel Salim, J.B. Soemarlin, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan melanjutkan pendalaman keilmuannya ke University of California at Berkeley, USA. Dalam hal ini tidak terlepas visi serta dukungan Begawan Ekonomi, (alm) Prof. Soemitrao Djojohadikoesoemo. 

Merujuk implementasi strategi infrastruktur di atas, ada hal penting perlu dicatat yaitu bahwa pembangunan infrastruktur akan menciptakan lapangan pekerjaan dan tentunya tenaga kerja dan diselaraskan upaya membangun keunggulan dan strategi pengembangan industri yang kelak akan meningkatkan "output" serta menghasilkan produk andalan yang langgeng berkelanjutan. Dalam pengembangan infrastruktur, pemerintah menjadi pemandu atau conduktor. Namun tidak lepas dari pertimbangan keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah yang antara lain mencakup kemampuan dan dana. Dalam situasi seperti demikian, sudah selayaknya mengundang partisipasi dari non pemerintah (swasta) dan non domestik (asing). Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (Swasta) menjadi model yang layak karena kemampuan pendanaan pemerintah (pusat dan daerah) diprakirakan hanya mampu mendukung tidak lebih 50% dari kebutuhan pembangunan infrastruktur. Juga, perlu identifikasi akan kebutuhan infrastruktur yang berdampak signifikan bagi perekonomian dan khususnya sektor industri. Sejalan dengan pertimbangan tersebut, Presiden Jokowi telah menerbitkan Inpres-1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Perpres 3/2016 dan juga Perpres-3/2016 tentang hal yang berkaitan khususnya daftar dari 225 proyek ditambah dengan 1 paket infrastruktur kelistrikan.

Sebagai instruksi dan peraturan yang dikeluarkan presiden, tidak ada yang salah tetapi akan lebih elok dan elegan jika direlevansikan dengan strategi pengembangan sektor industri yang kelak menjadi unggulan. Implementasi sejumlah instruksi bukanlah hal yang serta merta mengubah aturan dan tatanan proses yang sudah ada. Apalagi berharap akan perubahan paradigma dalam lingkup birokrat pemerintahan yang cenderung bersikap "risk averse" (menghindari resiko); akibat berbagai ancaman hukuman serta dampak pada penilaian kinerja. Akibatnya, pengambilan akan bersikap TUNTAS alias tunggu petunjuk atasan (anekdot lama) dan "bottom up" decision (serahkan kepada atasan) yang terus berlanjut hingga akhirnya Semua Putusan Presiden. Tentunya bukan hal ini yang diharapkan.

Dalam forum diskusi Masyarakat Infrastruktur Indonesia, hadir "testimoni" proses pengambilan keputusan dalam proyek pengadaan dan penyelenggaraan infrastruktur kelistrikan, penyediaan air minum, dan telekomunikasi yang melibatkan pihak non pemerintah. Cukup mengejutkan karena prosesnya berlangsung bak "telenovela nan berkelanjutan tiada akhir". Untuk infrastruktur kelistrikan telah memakan waktu hingga 5(lima) tahun dan lebih panjang pada infrastruktur air minum yang tanpa keputusan. Sementara, ada juga yang berlangsung sangat progresif kurang dari satu tahun, seperti terjadi pada infratruktur telekomunikasi Proyek Palapa Ring-2 yang dalamnya diberikan jaminan pemerintah dan telah ada penunjukan pemenangnya.

Pembangunan infrastruktur Indonesia ibarat membangun jembatan melewati aliran air yang bergelora (Bridge Over Troubled Water; Klik untuk dengarkan lantunan Duet Simon and Garfunkel), terinspirasi untaian kata : "I'll be your bridge over deep water if you trust in me". 

Infrastruktur telekomunikasi telah memberikan contoh nyata tentang manfaatnya bagi masyarakat dan (kelak) pada pertumbuhan ekonomi digital. Juga keterlibatan pihak non pemerintah atau swasta dalam percepatan perluasan cakupan dan pengembangan layanannya. Bahkan dalam berproses, sebagaimana testimoni dan rujukan link, sangat tidak perlu berkepanjangan sehingga layak ditiru sektor infrastruktur lainnya karena "tinggal copas" (Copy & Paste).

Masihkah ragu dengan penuh pertimbangan terhadap skenario "Pembangunan Infrastruktur demi Pengembangan Industri akan Meningkatkan Perekonomian" ? Ini berlandaskan Generally Accepted Principle dan Proven lho !

 

Arnold Mamesah - Laskar Initiatives

19 Februari 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun