Telekomunikasi sebagai Teladan
Tidak dapat disangkal bahwa pertumbuhan internet dan ekonomi digital bergantung pada ketersediaan jaringan telekomunikasi yang merupakan salah satu unsur infrastruktur (Tentang lngkup infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial, lihat Perpres 38/2015, BAB III, Pasal 5.2 butir (a), hingga (s), pada butir (h) : infrastruktur telekomunikasi dan informatika).
Merujuk catatan masa lalu, ada 2(dua) titik penting dalam perkembangan telekomunikasi Indonesia. Pertama terobosan pemerintah saat itu untuk menghadirkan Satelit Palapa, yang walaupun harus berutang dalam skema IGGI, yang diluncurkan pada 8 Juli 1976 dari Florida, USA, Sebagai kelanjutannya, Satelit Palapa menghadirkan Sistem Komunikasi Jarak Jauh menerobos hambatan komunikasi suara langsung (via telepon) dan terjadinya siaran nasional televisi (waktu itu hanya TVRI). Terobosan lain berupa deregulasi industri telekomunikasi Indonesia sejak pertengahan 1990'an yang ditandai dengan keterlibatan pemain non pemerintah. Sebagai implikasi adalah deregulasi kepemilikan usaha; dua badan usaha milik negara menjadi perusahaan publik masing-masing Indosat (1994) dan Telkom (1995). Bersama dengan kehadiran operator non pemerintah pada komunikasi selular, pertumbuhan infrastruktur telekomunikasi berkembang pesat dan menjangkau hampir seluruh masyarakat (Rerata berdasarkan BPS per 2014, pengguna selular diseluruh Indonesia >50% penduduk); yang berlanjut dengan kehadiran komunikasi data (dengan teknologi 3G dan 4G).
Lesson learned atau pembelajaran dari sektor telekomunikasi, sebagai salah satu sektor dalam infrastrutur, selayaknya dapat menjadi rujukan dalam percepatan pertumbuhan infrastruktur dan sektor industri yang memanfaatkannya untuk kemudian berkembang dan dapat dirasakan bagi masyarakat.
Infrastruktur dan Pertumbuhan Perekonomian
Dalam kondisi ekonomi yang mengalami penurunan, dari pandangan dan pemikiran Keynesian Economics, pembangunan infrastruktur yang sarat tenaga kerja merupakan cara untuk meningkatkan lapangan kerja dan upah; yang kemudian akan berdampak pada peningkatan permintaan sehingga mempercepat pemulihan ekonomi.
Berdasarkan catatan, resep pembangunan infrastruktur ini telah digunakan pada masa lalu seperti di Amerika (USA) pasca Perang Dunia-I (PD) masa kepemimpinan Presiden F.D. Roosevelt (FDR) yang diteruskan usai Perang Dunia-II masa Presiden Harry Truman dan Eisenhower (Ike) dengan fokus pada pembangunan perumahan (public housing) serta transportasi. Pemulihan perekonomian Eropa Barat pasca PD-II juga menggunakan cara serupa dengan kehadiran Marshall Plan yang diinisiasi pemerintah US dan mirip dengan kebijakan yang dilakukan di Jerman masa Nazi dan Hitler saat membangun Autobahn. Pola yang serupa juga digunakan dalam pemulihan Korea Selatan pasca perang semenanjung Korea dan China dengan tema Reformasi Ekonomi masa pemerintahan Deng; melalui pembangunan infrastruktur yang mendukung pengembangan industri khususnya pangan serta peningkatan produksi.
Belum cukup catatannya jika tidak merujuk pada kebijakan pemerintah Indonesia era Order Baru yang berbasis tahapan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dimulai sejak 1969, yang diawali dengan pengembangan infrastruktur untuk mendukung sektor pangan dan pada tahapan selanjutnya insfrastruktur untuk mendukung sektor manufacturing. Strategi pembangunan ala Repelita erat dengan pemikiran Mafia Berkeley dengan pelaku seperti Widjojo Nitisastro, Emiel Salim, J.B. Soemarlin, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan melanjutkan pendalaman keilmuannya ke University of California at Berkeley, USA. Dalam hal ini tidak terlepas visi serta dukungan Begawan Ekonomi, (alm) Prof. Soemitrao Djojohadikoesoemo.Â
Merujuk implementasi strategi infrastruktur di atas, ada hal penting perlu dicatat yaitu bahwa pembangunan infrastruktur akan menciptakan lapangan pekerjaan dan tentunya tenaga kerja dan diselaraskan upaya membangun keunggulan dan strategi pengembangan industri yang kelak akan meningkatkan "output" serta menghasilkan produk andalan yang langgeng berkelanjutan. Dalam pengembangan infrastruktur, pemerintah menjadi pemandu atau conduktor. Namun tidak lepas dari pertimbangan keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah yang antara lain mencakup kemampuan dan dana. Dalam situasi seperti demikian, sudah selayaknya mengundang partisipasi dari non pemerintah (swasta) dan non domestik (asing). Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (Swasta) menjadi model yang layak karena kemampuan pendanaan pemerintah (pusat dan daerah) diprakirakan hanya mampu mendukung tidak lebih 50% dari kebutuhan pembangunan infrastruktur. Juga, perlu identifikasi akan kebutuhan infrastruktur yang berdampak signifikan bagi perekonomian dan khususnya sektor industri. Sejalan dengan pertimbangan tersebut, Presiden Jokowi telah menerbitkan Inpres-1/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Perpres 3/2016 dan juga Perpres-3/2016 tentang hal yang berkaitan khususnya daftar dari 225 proyek ditambah dengan 1 paket infrastruktur kelistrikan.
Sebagai instruksi dan peraturan yang dikeluarkan presiden, tidak ada yang salah tetapi akan lebih elok dan elegan jika direlevansikan dengan strategi pengembangan sektor industri yang kelak menjadi unggulan. Implementasi sejumlah instruksi bukanlah hal yang serta merta mengubah aturan dan tatanan proses yang sudah ada. Apalagi berharap akan perubahan paradigma dalam lingkup birokrat pemerintahan yang cenderung bersikap "risk averse" (menghindari resiko); akibat berbagai ancaman hukuman serta dampak pada penilaian kinerja. Akibatnya, pengambilan akan bersikap TUNTAS alias tunggu petunjuk atasan (anekdot lama) dan "bottom up" decision (serahkan kepada atasan) yang terus berlanjut hingga akhirnya Semua Putusan Presiden. Tentunya bukan hal ini yang diharapkan.
Dalam forum diskusi Masyarakat Infrastruktur Indonesia, hadir "testimoni" proses pengambilan keputusan dalam proyek pengadaan dan penyelenggaraan infrastruktur kelistrikan, penyediaan air minum, dan telekomunikasi yang melibatkan pihak non pemerintah. Cukup mengejutkan karena prosesnya berlangsung bak "telenovela nan berkelanjutan tiada akhir". Untuk infrastruktur kelistrikan telah memakan waktu hingga 5(lima) tahun dan lebih panjang pada infrastruktur air minum yang tanpa keputusan. Sementara, ada juga yang berlangsung sangat progresif kurang dari satu tahun, seperti terjadi pada infratruktur telekomunikasi Proyek Palapa Ring-2 yang dalamnya diberikan jaminan pemerintah dan telah ada penunjukan pemenangnya.