Dari grafik-3 ditunjukkan bahwa trend suku bunga acuan terus turun dan menjadi norma baru kebijakan moneter.
Walaupun suku bunga acuan (sangat) rendah, ternyata inflasi yang timbul masih rendah; bahkan terjadi disinflasi (inflasi negatif). Dengan kondisi inflasi sangat rendah, sulit terjadi pertumbuhan dunia usaha dan perekonomian secara agregasi. Keadaan ini disebut sebagai Perangkap Likuiditas (Liquidity Trap).
Bagi perekonomian negara yang mengandalkan ekspor komoditas dan energi (khususnya minyak bumi dan batubara), penurunan harga yang berkepanjangan berdampak turunnya penerimaan dan tekanan pada pertumbuhan GDP (misalnya Brazil, Venezuela, South Africa, Nigeria, kawasan Middle East). Kondisi ini akan kembali menekan penerimaan ekspor USA, Euro Area, dan China dan secara bersamaan menimbulkan Efek Spriral Deflasi (Deflationary Spiral Effect).
Sementara, persaingan pada tingkat global untuk produk dan komoditas dari negara berkembang (emerging countries) lebih banyak menggunakan strategi "manipulasi nilai tukar" (sering disebut currency war atau devaluasi mata uang). Strategi devaluasi atau manipulasi nilai tukar ini akan berdampak pada peningkatan utang eksternal pada "emerging markets" yang dilakukan dalam mata uang asing (misalnya USD); dan keadaan ini disebut : Perangkap Utang Eksternal.
Demikianlah, wabah global yang terjadi saat ini : Perangkap Likuiditas, Efek Spiral Deflasi, Perangkap Utang Eksternal.
Inisiatif Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) selayaknya sangat paham akan siklus kebijakan dan gejolak serta wabah yang timbul. Tetapi dalam menghadapi situasi tersebut BI masih menggunakan pendekatan konservatif. BI lebih sering terpaku mengejar target inflasi dalam kondisi global yang mengalami deflasi; mempertahankan suku bunga acuan tinggi untuk meredam gejolak inflasi dan nilai tukar daripada mendorong ekspansi perbankan mendukung investasi dunia usaha; mengutamakan cadangan devisa untuk antisipasi impor atau antisipasi pembayaran utang bukan mengembangkan kepercayaan serta dukungan sebagai antisipasi dan mitigasi menghadapi krisis. BI sebagai bank sentral seharusnya berperan dan berinisiatif serta menjadi katalis pertumbuhan perekonomian dan dunia usaha. Sikap cenderung defensif dan penuh kehati-hatian (sebutan yang lebih tepat : keraguan) yang ditunjukkan BI malah berbalik menjadi inhibitor alias penghambat.
Â
Awal pekan ketiga Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H