Jebakan Likuiditas
Jebakan likuidiats (Liquidity Trap) dipahami sebagai upaya melalui kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat suku bunga dan menambahkan likuiditas perbankan tetapi gagal meningkatkan pertumbuhan perekonomian.
Kondisi ini dialami hampir semua negara besar seperti USA (mata uang Dolar Amerika : USD), Euro Area (Euro), China (CNY), Jepang (JPY) dan United Kingdom (GBP); dengan mata-uangnya merupakan bagian dari SDR (Special Drawing Right) IMF.
The Fed US pasca krisis finansial yang melanda pada 2007-2008, melakukan kebijakan Quantitative Easing dengan mencurahkan likuiditas dan menetapkan suku bunga acuan (Fed Rate) pada batas atas 0,25% (25 basis poin). ECB (Euro Central Bank) berupaya dengan Quantitative Easing dan kebijakan penurunan suku bunga untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi kawasannya. People's Bank of China (Bank Sentral China), memotong suku bunga acuan pada 23 Oktober 2015 dan melakukan berbagai upaya untuk peningkatan kegiatan perekonomian China yang terus mengalami tekanan. Perekonomian US, Euro Area, dan China pertumbuhannya masih lambat dan mengalami tekanan terutama pada nilai ekspor.
Spiral Deflasi
Ancaman Spiral Deflasi dibahas dalam tulisan : "Spiral Deflasi" dan "Currency Wars" yang Berbuah Krisis dan Inflasi Negatif dan Ancaman Deflationary Spiral.
Kondisi pasar global untuk indeks harga komoditas dan energi dapat dilihat pada grafik-1.
Grafik-1 : Global Commodity Price Index (Non Energy and Energy)
Pada pasar global, indeks harga komoditas dan energi terus tertekan dan sangat berdampak pada perekonomian yang mengandalkan penerimaan dari komoditas dan energi seperti Rusia, Saudi Arabia, Brazil dan Venezuela juga negara di Afrika seperti South Africa, Nigeria. Turunnya penerimaan berdampak pada tekanan pertumbuhan ekonomi dan penurunan permintaan (impor) negara tersebut termasuk dari US, Euro Area, dan China.
Trend penurunan harga emas global diberikan pada grafik-2.
Grafik-2 : Global Gold Price 5 Years Historical Price
Â
Trend harga emas dunia terus turun dan diprediksi masih akan terus berlanjut.
Pemegang cadangan emas (lihat: daftar negara berdasarkan jumlah cadangan) yang mengalami krisis ekonomi, dapat saja mengambil tindakan drastis melepaskan cadangannya, misalnya untuk menutupi defisit anggaran, sehingga berdampak rontoknya harga emas di pasar global. Dalam trend penurunan harga, investasi emas menjadi tidak menarik, sehingga beralih untuk "berspekulasi" dalam USD. Kondisi ini semakin meningkatkan fluktuasi atau gejolak nilai tukar IDR terhadap USD.
Ancaman Kenaikan Fed Rate
Setelah tertunda beberapa kali, Chairwoman The Fed mengindikasikan keputusan terhadap kenaikan Fed Rate akan dilakukan dalam pertemuan FOMC (Federal Open Market Commitee) pada 16 Desember 2015. Saat bertemu dengan Komite Ekonomi Senat, Chairwoman The Fed berupaya meyakinkan para anggota bahwa kondisi perekonomian US sudah mengarah pada pemulihan. Walaupun diakui juga bahwa kondisi global membuat Dolar Amerika kuat (Strong USD) dan berdampak tekanan pada produk ekspor US di pasar global.
Prakondisi yang menjadi pertimbangan The Fed untuk menaikkan Fed Rate mengacu pada tingkat inflasi dan tingkat pengangguran tenaga kerja (unemployment). Gambaran terakhir kondisi tersebut diberikan pada grafik-3.
Grafik-3 : US Earning Growth - Consumer Price Index - Unemployment
Grafik-3 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran US masih diantara 9%-10% sementara Consumer Price Index yang menjadi tolok ukur inflasi, dibandingkan dengan masa yang sama tahun sebelumnya, kenaikannya masih di bawah 2% (sekitar 1,7%). Sedangkan pada pertumbuhan pendapatan (Weekly Earning), perbandingan dengan masa yang sama tahun sebelumnya, trend pertumbuhannya turun dan berada pada kisaran 2,3% (posisi Oktober 2015).
Dengan kondisi tersebut, kebijakan QE The Fed belum dapat dikatakan mencapai sasaran untuk peningkatan pertumbuhan perekonomian US. Jika kemudian The Fed menaikkan Fed Rate, akan terjadi gejolak pada pasar keuangan global dan dana akan mengalir kembali ke pasar US. Dampaknya, USD akan menjadi makin kuat dan ekspor US makin tertekan; pada sisi lain akan terjadi peningkatan barang impor ke US. Ditambah oversupply produk US, akan terjadi tekanan harga (disinflasi). Kondisi ini membuat pendapatan dunia usaha (korporasi) US berkurang dan mengancam pendapatan tenaga kerja. Tentunya hal ini sangat tidak diinginkan The Fed karena kenaikan Fed Rate akan lebih mengancam perekonomian US. Jika kemudian The Fed memaksakan kenaikan, diprakirakan akan ada kebijakan "mitigasi moneter" lain yang diterbitkan.
Gejolak Nilai Tukar
Fluktuasi atau perubahan nilai tukar Euro, CNY, dan IDR terhadap USD diberikan pada grafik-4.
Grafik-4 :Â Exchange Rate CNY Euro IDR to USD
Grafik-4 menunjukkan bahwa terhadap USD nilai tukar CNY cenderung stabil sedangkan Euro trend-nya menurun walaupun pada awal Desember menunjukkan penguatan. Dari sisi US, China dan Euro Area merupakan mitra dagang utama sehingga diharapkan USD melemah sehingga akan meningkatkan nilai ekspor US ke  area tersebut.
Bagi Indonesia, sejak menguat dan mencapai puncak pada awal Oktober 2015, trend nilai tukar IDR terhadap USD mengalami penurunan hingga 6,4% (posisi 3 Desember 2015). Jelang akhir tahun, tekanan nilai tukar IDR - USD akan terus berlanjut sejalan dengan antisipasi pasar terhadap keputusan The Fed menaikkan suku bunga, juga peningkatan kebutuhan USD untuk pemenuhan kewajiban utang eksternal korporasi dan pemerintah. Trend penurunan tersebut akan juga berlaku pada CNY dan Euro karena USD masih digunakan sebagai "anchor" dalam penentuan nilai tukar IDR terhadap CNY dan Euro (walaupun Bank Indonesia mendorong penggunaan CNY dalam perdagangan Indonesia dengan China).
Fenomena nilai tukar IDR terhadap USD dalam 12 bulan terakhir menunjukkan bahwa pada jelang akhir triwulan selalu dalam keadaan tertekan namun akan membaik pada bulan berikutnya kecuali pada akhir Triwulan-2 2015 (Juni - Juli 2015). Dalam trend IDR mengalami depresiasi terhadap USD, ternyata trend inflasi turun (diprakirakan inflasi 2015 tidak akan melebihi 3,5%) serta neraca perdagangan SURPLUS.
Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) Triwulan-3 naik dibandingkan Triwulan-1 dan Triwulan-2; sementara trend pertumbuhan global masih dalam tekanan (kecuali beberapa negara misalnya India, Thailand, Phillipine). Kenaikan pertumbuhan tersebut didorong faktor domestik yaitu sektor konsumsi dan investasi (Lihat artikel : Stimulus Ekonomi Tanpa Was-was), bukan mengandalkan pada faktor eksternal (Lihat : Nonsense - Faktor China Pada Pertumbuhan Indonesia)
Demikianlah dan sesuai dengan tajuk : Eksternal Perlu, Tetapi Fokus ke Domestik.
Â
Arnold Mamesah - Laskar Initiatives
Akhir pekan pertama Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H