Asumsi dan Tahapan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 sudah disahkan sebagai Undang-Undang pada 30 Oktober 2015, dan disusun dengan asumsi seperti pada infografik berikut ini (Sumber : Kompas).
Asumsi diperlukan dalam perencanaan anggaran, sebagai rujukan dan batasan dalam perhitungan serta pencapaian.Â
Dalam perekonomian yang tertekan akibat kondisi perekonomian global, peran swasta tidak dapat terlalu diandalkan sebagai lokomotif penggerak pertumbuhan. Hal ini terjadi akibat Resesi Neraca (Balance Sheet Recession) yang menghantam pihak swasta dan korporasi sebagai dampak utang eksternal dalam valas (khususnya dalam Dolar Amerika); sementara mata uang Rupiah mengalami depresiasi terhadap Dolar Amerika (USD). Berharap pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai korporasi untuk berinisiatif dalam menggerakkan perekonomian bak menggantang asap terlebih akibat intervensi yang dilakukan pemerintah membuat BUMN tidak menjadi makin dewasa dan tangguh. Upaya pemerintah melalui 5 jilid paket stimulus perekonomian yang ditujukan menarik minat penanaman modal asing masih membutuhkan waktu untuk dapat dilihat dampaknya dalam menggerakkan roda perekonomian.
Dengan demikian, peran pemerintah melalui anggaran akan menjadi "KUNCI" dalam merangsang dan mendorong pembangunan serta peningkatan pertumbuhan. Melengkapi asumsi anggaran dan peran sebagai perangsang atau stimulus, perlu wawasan masa depan (foresight), dalam rentang waktu 3 - 5 tahun sebagai "milestone" atau tahapan. Dalam hal ini berkaitan dengan nilai GDP (Gross Domestic Product) atau PDB (Produk Domestik Bruto) nominal menembus USD 1.000 Miliar.
GDP Nominal USD 1000 Miliar
Jika dilihat pertumbuhan GDP 2009 yang hanya 4,7%, kenaikan drastis hingga 1,7% dan mencapai 6,4% pada 2010 dapat terjadi karena penerimaan yang negara masih dapat bergantung pada ekspor SDA. Namun dalam kondisi deflasi harga komoditas menurun tentu skenarionya musti berbeda.
Dalam masa 2009 - 2012, rasio utang terhadap GDP turun dan hal ini terjadi karena peningkatan GDP serta pembayaran pokok utang yang dilakukan saat itu. Yang perlu dicatat pada masa tersebut tidak banyak dilakukan pengembangan infrastruktur juga sektor industri yang dapat menghasilkan produk unggulan bukan produk yang mengandalkan harga murah dalam persaingan global.
Selayaknya saat memiliki sumber daya yang berlebih, pembangunan ditujukan pada pemantapan modal atau "capital" yang dapat memberikan keunggulan komparatif dalam skala global; yang mencakup antara lain : Modal Bisnis (Business Capital), Infrastruktur, Human Capital, Intelectual Capital, Natural Capital, Social Capital. (Lihat :Â Paket Stimulus Lebih Penting daripada Nilai Tukar).
Pertumbuhan GDP dan Perekonomian Sisi Persediaan
Paket stimulus sudah diluncurkan sejak awal September 2015 dan pada peluncuran paket pertama dinyatakan bahwa sektor produksi menjadi perhatian utama. Dengan mendorong sektor produksi menjadi penggerak, tatanan yang sesuai adalah Perekonomian Sisi Persediaan (Supply Side Economic). Peningkatan sektor produksi akan menambah lapangan kerja yang memberi upah kepada tenaga kerja untuk kemudian meningkatkan permintaan (demand). Penggerak sektor produksi yang utama adalah dunia swasta dan dan korporasi termasuk BUMN, dan yang dibutuhkan saat ini adalah dukungan kredit perbankan. (Lihat : Sikap Konservatif Bank Indonesia Berdampak Krisis Kian Dalam).
Sementara peran pemerintah melalui anggaran merupakan faktor pemicu dan perangsang bagi kalangan swasta serta korporasi. Dengan target defisit anggaran hanya 2,15% (ambang batas normal : 3%), masih terkesan konservatif. Hal ini kemungkinan akibat kecemasan akan dampak penambahan utang untuk menutupi anggaran. Dengan estimasi posisi rasio utang terhadap GDP 2015 sebesar 26,5% (ambang batas normal : 60%), masih tersedia banyak ruang untuk menambah utang.Â
Apakah penambahan utang akan berdampak besar. Contoh perhitungan sederhana berikut ini memberikan gambaran. Pada 2014, rasio utang 25% terhadap GDP yang besarnya USD 880 miliar atau nilai utang USD 220 miliar. Dengan penambahan utang sebesar USD 60 miliar menjadi USD 280 miliar, GDP 2017 dapat mencapai USD 1000 miliar maka rasio utang terhadap GDP 28%. Rasio ini jauh dari ambang normal (sebagai perbandingan, India yang pertumbuhan GDP-nya di atas 7%, rasio utang terhadap GDP sekitar 60%). Kenapa harus cemas berutang jika memang dapat mengendalikan penggunaan dan meminimalkan penyimpangan.Â
Ternyata solusinya sederhana. Pemerintah yang berani berutang dan dukungan kredit perbankan bagi dunia usaha.
Â
Arnold Mamesah - Laskar Initiatives
Awal November 2015Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H