Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

APBN 2016 sebagai Stimulus Tembus GDP USD 1.000 Miliar

2 November 2015   11:31 Diperbarui: 2 November 2015   17:37 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paket stimulus sudah diluncurkan sejak awal September 2015 dan pada peluncuran paket pertama dinyatakan bahwa sektor produksi menjadi perhatian utama. Dengan mendorong sektor produksi menjadi penggerak, tatanan yang sesuai adalah Perekonomian Sisi Persediaan (Supply Side Economic). Peningkatan sektor produksi akan menambah lapangan kerja yang memberi upah kepada tenaga kerja untuk kemudian meningkatkan permintaan (demand). Penggerak sektor produksi yang utama adalah dunia swasta dan dan korporasi termasuk BUMN, dan yang dibutuhkan saat ini adalah dukungan kredit perbankan. (Lihat : Sikap Konservatif Bank Indonesia Berdampak Krisis Kian Dalam).

Sementara peran pemerintah melalui anggaran merupakan faktor pemicu dan perangsang bagi kalangan swasta serta korporasi. Dengan target defisit anggaran hanya 2,15% (ambang batas normal : 3%), masih terkesan konservatif. Hal ini kemungkinan akibat kecemasan akan dampak penambahan utang untuk menutupi anggaran. Dengan estimasi posisi rasio utang terhadap GDP 2015 sebesar 26,5% (ambang batas normal : 60%), masih tersedia banyak ruang untuk menambah utang. 

Apakah penambahan utang akan berdampak besar. Contoh perhitungan sederhana berikut ini memberikan gambaran. Pada 2014, rasio utang 25% terhadap GDP yang besarnya USD 880 miliar atau nilai utang USD 220 miliar. Dengan penambahan utang sebesar USD 60 miliar menjadi USD 280 miliar, GDP 2017 dapat mencapai USD 1000 miliar maka rasio utang terhadap GDP 28%. Rasio ini jauh dari ambang normal (sebagai perbandingan, India yang pertumbuhan GDP-nya di atas 7%, rasio utang terhadap GDP sekitar 60%). Kenapa harus cemas berutang jika memang dapat mengendalikan penggunaan dan meminimalkan penyimpangan. 

Ternyata solusinya sederhana. Pemerintah yang berani berutang dan dukungan kredit perbankan bagi dunia usaha.

 

Arnold Mamesah - Laskar Initiatives

Awal November 2015 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun