Siklus Krisis dan Perekonomian Indonesia
Masalah krisis keuangan dan dampaknya pada perekonomian negara bukan masalah baru dan sesekali terjadi. Banyak contoh penyelesaian yang terbukti berhasil dan berdasarkan pada Generally Accepted Principles. Berharap “instant solution” hanya melahirkan pendekatan sporadis dan penyelesaian yang tidak langgeng tanpa landasan teori atau prinsip yang teruji dan terbukti kebenarannya.
Nilai tukar adalah masalah moneter yang berkaitan dengan Neraca Pembayaran (Balance of Payment) yang dalamnya menyangkut Transaksi Berjalan (Current Account) yang melibatkan Transaksi Barang dan Jasa (Ekspor dan Impor dan Neraca Perdagangan atau Trade Balance), Transaksi Pendapatan (Penerimaan dan Pengeluaran), Transaksi Modal dan Keuangan (yang mencakup Penanaman Modal Langsung atau FDI : Foreign Direct Investment dan FPI : Foreign Portfolio Investment), serta pencatatan Transaksi Cadangan Devisa. Neraca pembayaran harus dipahami secara utuh bukan sekedar sisi FDI atau FPI.
Secara umum, nilai tukar akan dipengaruhi antara lain tingkat inflasi dan tingkat suku bunga, kondisi transaksi berjalan (Current Account) dan dalamnya menyangkut Neraca Perdagangan, utang eksternal beserta dampak dan resiko yang mungkin timbul, dan kondisi perkembangan ekonomi serta situasi politik.
Tingkat inflasi tahun berjalan hingga Juli 2015 mencapai 1,9% dan diproyeksikan hingga akhir tahun mencapai besaran di bawah 5% (asalkan tidak terjadi gejolak). Tingkat inflasi menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar Rupiah tidak berpengaruh atau tidak timbul “imported inflation” (inflasi akibat kenaikan harga pada barang impor) atau barang konsumsi impor bukan pilihan masyarakat. Suku bunga acuan BI 7,5% dan suku bunga pinjaman perbankan pada 12,5 – 14%. Sudah selayaknya BI melakukan terobosan dalam hal suku bungan agar sektor produksi tetap berjalan. Khususnya sektor Usaha Kecil Menengah dan mikro (UMKm) yang selanjutnya diberdayakan sebagai jangkar perekonomian Indonesia. (Lihat : Terobosan Suku Bunga Sebagai Antisipasi Krisis)
Posisi utang perlu mendapatkan perhatian khususnya pada sektor swasta. (Lihat : Asa dan Siklus Perekonomian Indonesia dan Indominomics : Deflasi, Tekanan Utang, dan Depresiasi).
Lantas bagaimana dengan kondisi dan perkembangan perekonomian. Sudah sangat tepat jika pemerintah mengambil keputusan untuk berperan sebagai Stimulus Ekonomi yang dalam kondisi Resesi memang perlu serta tidak memilih kebijakan pengetataan (Austerity Approach). (Lihat : Ketat Bikin Sekarat).
Dengan memilih program stimulus, pemerintah selayaknya mendorong belanja dengan konsisten dan tidak memperketat serta memaksakan penerimaan dari sektor perpajakan (bukan berarti membiarkan perilaku penghindar pajak atau Tax Evasion). Juga, perlu mendorong dan memberdayakan pelaku ekonomi khususnya sektor UMKm, memacu dan memberikan insentif pada sektor produksi agar terus berputar dan menyerap tenaga kerja. Dalam pemahamannya, mendorong sektor produksi dan penyerapan tenaga kerja sering disebut sebagai mahzab Ekonomi Supply Side. (Lihat artikel Indominomics : Indominomics : Deflasi, Tekanan Utang, dan Depresiasi)
Bagaimana dengan kondisi Politik ?
Jangan menari di atas tabuhan gendang orang lain. Indonesia sangat kaya dengan berbagai tarian. Ada Tari Serimpi dari Jawa Tengah yang menampilkan keindahan dalam kegemulaian, atau Tari Sajojo Papua yang menggambarkan dinamika kehangatan pergaulan dan kebersaman dalam menyambut kedatangan, dan bahkan Tari Rampai Aceh yang mengambarkan keserasian gerak nan cepat dan tanggap tanpa benturan.
Tampil dan hadapi dengan percaya diri dan kita IndONEsia Bung !