Deflasi dan Depresi
Yang mencemaskan biasanya jika terjadi kenaikan harga barang dan jasa yang dikonsumsi atau disebut inflasi. Inflasi dapat disebabkan kenaikan permintaan (demand) sementara persediaan (supply) terbatas atau jika terjadi kenaikan pada komponen biaya (cost) misalnya bahan mentah (raw material), upah (wages), atau biaya logistik. Inflasi bukan hal yang buruk karena akan meningkatkan pendapatan (income) sehingga perusahaan dapat menambah upah bagi pekerja. Dengan tambahan upah akan meningkatkan permintaan.
Berbeda jika harga mengalami penurunan yang berkelanjutan pada waktu lama atau disebut deflasi. Siklus deflasi dimulai dengan kelebihan persediaan (supply) yang berlanjut dengan penurunan harga dan seterusnya menekan pendapatan dan keuntungan. Akibat pendapatan berkurang maka perusahaan akan melakukan pengurangan produksi dan menekan biaya dengan melakukan pengurangan tenaga kerja dan menghindari penambahan pekerja baru. Dengan berkurangnya tenaga kerja yang menerima upah, daya beli turun dan permintaan secara agregasi akan berkurang sehingga menimbulkan kelebihan persediaan. Siklus deflasi dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Kondisi serupa dialami perekonomian dunia dengan terjadinya penurunan harga komiditi secara berkepanjangan dan dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Fenomena Dolar Amerika Super Kuat
Pasca Krisis Keuangan 2008, The Fed Amerika (USA) mengeluarkan kebijakan Quantitative Easing yang berupa pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga acuan menjadi sangat rendah. Dengan kebijakan tersebut, perekonomian Amerika menjadi pulih; korporasi Amerika berhasil meningkatkan pendapatan dan bertumbuh sehingga menambah lapangan kerja. Sejalan dengan pertumbuhan perekonomiannya, The Fed akan segera menormalisasi kebijakan dengan menaikkan suku bunga acuan. Akibatnya, dana USD yang tersebar di luar akan tergoda untuk dipindahkan ke Amerika yang menjanjikan imbalan dengan risiko kecil. Dampak rencana kenaikan suku bungan acuan ini ditambah dengan devaluasi mata uang seperti dijelaskan di atas membuat USD menjadi pilihan utama atau menjadi Super Kuat. Hal ini berlangsung terhadap mata uang kuat seperti Euro, Dolar Kanada, Singapore, Australia dan dapat dilihat pada grafik berikut ini.
USD tetap dalam posisi kuat terhadap negara yang perekonomiannya tangguh.
Dampaknya USD pada posisi super kuat bagi USA:
1. Harga produk USA di luar negeri menjadi tinggi dan tidak kompetitif akibatnya nilai ekspor USA akan tertekan dan berdampak pada pendapatan korporasi.
2. Barang impor dari luar akan mengalir deras ke USA.
3. Sebagai implikasi dari butir-1 dan butir-2, korporasi di USA harus mengendalikan biaya dan berakibat pada pendapatan pekerja serta menekan permintaan.
4. Permintaan yang berkurang akan menimbukan kelebihan persediaan dan menyebabkan harga turun sehingga dapat muncul spiral deflasi.
Currency Wars dan Perekonomian Indonesia
Dampak “Currency Wars” dapat dilihat pada grafik berikut ini yang menyajikan kurs tukar IDR terhadap beberapa negara mitra dagang Indonesia.
Memang IDR mengalami depresiasi terhadap USD tetapi kondisinya masih lebih baik dibandingkan beberapa negara BRICS seperti Brazil, dan Rusia (yang mengandalkan pendapatan dari penjualan minyak mentah); juga dibandingkan dengan Australia serta Kanada khususnya pada masa 2015.
Neraca perdagangan Indonesia dengan USA diberikan pada grafik berikut ini.
Dengan melihat pada grafik, ekspor cenderung tidak bertambah secara berarti; sementara nilai impor turun sebagai dampak kenaikan depresiasi nilai tukar IDR.
Gejolak Sistem Keuangan Dunia
International Monetary Fund (IMF) sedang dalam tahapan akhir untuk memasukkan mata uang China Yuan (CNY) dalam basket SDR (Special Drawing Right) yang direncanakan berlaku pada Januari 2016. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah China harus melepaskan kebijakan “pegging” pada nilai tukar CNY. Jika kemudian kebijakan “pegging” ditiadakan (diprakirakan pada September atau Oktober 2015), maka arus dana luar akan mengalir ke China karena pertumbuhan ekonominya lebih baik daripada USA dan juga tingkat imbalannya.
Spiral deflasi dan “Currency Wars” serta posisi USD yang super kuat akan berdampak balik pada perekonomian USA khususnya perdagangan dan penurunan kinerja korporasi. Kondisi ini akan terlihat pada laporan kinerja korporasi pada Triwulan-II dan Triwulan-III 2015. Jika terbukti kinerja korporasi tidak memuaskan dan proyeksi kinerja masa depannya juga tidak menjanjikan imbalan yang sesuai ekspektasi maka investor akan mencari tempat yang lain dengan menarik dananya dari USA. Dalam situasi ini akan timbul kepanikan pada pasar keuangan USA.
Kondisi panik ini akan menjalar sehingga berpotensi menimbulkan Krisis Besar pada Sistem Keuangan Dunia dan dapat disebut sebagai Great Deflation Crisis.
Indonesia adalah bagian dari sistem keuangan dunia dan situasi krisis membuat tidak nyaman namun tetaplah : Hope for the best and Prepare for the worst.
Awal Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H