Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Spiral Deflasi" dan "Currency Wars" yang Berbuah Krisis

4 Agustus 2015   04:13 Diperbarui: 4 Agustus 2015   04:28 4320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deflasi dan Depresi

Yang mencemaskan biasanya jika terjadi kenaikan harga barang dan jasa yang dikonsumsi atau disebut inflasi. Inflasi dapat disebabkan kenaikan permintaan (demand) sementara persediaan (supply) terbatas atau jika terjadi kenaikan pada komponen biaya (cost) misalnya bahan mentah (raw material), upah (wages), atau biaya logistik. Inflasi bukan hal yang buruk karena akan meningkatkan pendapatan (income) sehingga perusahaan dapat menambah upah bagi pekerja. Dengan tambahan upah akan meningkatkan permintaan.

Berbeda jika harga mengalami penurunan yang berkelanjutan pada waktu lama atau disebut deflasi. Siklus deflasi dimulai dengan kelebihan persediaan (supply) yang berlanjut dengan penurunan harga dan seterusnya menekan pendapatan dan keuntungan. Akibat pendapatan berkurang maka perusahaan akan melakukan pengurangan produksi dan menekan biaya dengan melakukan pengurangan tenaga kerja dan menghindari penambahan pekerja baru. Dengan berkurangnya tenaga kerja yang menerima upah, daya beli turun dan permintaan secara agregasi akan berkurang sehingga menimbulkan kelebihan persediaan. Siklus deflasi dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Sebagai upaya menanggulangi turunnya pendapatan (2), kebijakan menekan biaya termasuk meniadakan investasi (3); dengan melakukan pengurangan tenaga kerja (4) yang berdampak pada penurunan permintaan. Fenomena ini merupakan bagian dari “Balance Sheet Recession” yang berimplikasi depresi perekonomian dan lanjutannya adalah kondisi resesi atau turunnya pertumbuhan.

Kondisi serupa dialami perekonomian dunia dengan terjadinya penurunan harga komiditi secara berkepanjangan dan dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Negara-negara yang pendapatannya bergantung pada ekspor komiditi, termasuk Indonesia, akan mengalami tekanan deflasi. Dampak besar juga terjadi akibat penurunan harga minyak mentah pada negara pengekspor misalnya Rusia, Venezuela, Nigeria. Untuk mengupayakan penurunan pendapatan, sementara persaingan harga terus berlangsung, cara yang dilakukan adalah mendevaluasi mata uang. Ternyata strategi devaluasi dilakukan banyak negara sehingga timbul persaingan atau peperangan devaluasi mata uang yang disebut “Currency Wars”.

 

Fenomena Dolar Amerika Super Kuat

Pasca Krisis Keuangan 2008, The Fed Amerika (USA) mengeluarkan kebijakan Quantitative Easing yang berupa pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga acuan menjadi sangat rendah. Dengan kebijakan tersebut, perekonomian Amerika menjadi pulih; korporasi Amerika berhasil meningkatkan pendapatan dan bertumbuh sehingga menambah lapangan kerja. Sejalan dengan pertumbuhan perekonomiannya, The Fed akan segera menormalisasi kebijakan dengan menaikkan suku bunga acuan. Akibatnya, dana USD yang tersebar di luar akan tergoda untuk dipindahkan ke Amerika yang menjanjikan imbalan dengan risiko kecil. Dampak rencana kenaikan suku bungan acuan ini ditambah dengan devaluasi mata uang seperti dijelaskan di atas membuat USD menjadi pilihan utama atau menjadi Super Kuat. Hal ini berlangsung terhadap mata uang kuat seperti Euro, Dolar Kanada, Singapore, Australia dan dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Penjelasan. BRICS : Brazil, Rusia, India, China, South Africa. Khusus China, kurs tukar USD – CNY dibatasi (pegging) tidak kurang dari CNY 6 (Cina Yuan) untuk setiap USD 1.

Catatan. KRW : Korean Won, AUD : Dolar Australia, CAD : Dolar Kanada.

USD tetap dalam posisi kuat terhadap negara yang perekonomiannya tangguh.

Pada semua mata uang negara Asean, USD terus kokoh nilai tukarnya.

 

Dampaknya USD pada posisi super kuat bagi USA:

1. Harga produk USA di luar negeri menjadi tinggi dan tidak kompetitif akibatnya nilai ekspor USA akan tertekan dan berdampak pada pendapatan korporasi.

2. Barang impor dari luar akan mengalir deras ke USA.

3. Sebagai implikasi dari butir-1 dan butir-2, korporasi di USA harus mengendalikan biaya dan berakibat pada pendapatan pekerja serta menekan permintaan.

4. Permintaan yang berkurang akan menimbukan kelebihan persediaan dan menyebabkan harga turun sehingga dapat muncul spiral deflasi.

Currency Wars dan Perekonomian Indonesia

Dampak “Currency Wars” dapat dilihat pada grafik berikut ini yang menyajikan kurs tukar IDR terhadap beberapa negara mitra dagang Indonesia.

Dari grafik, kurs tukar IDR menguat terhadap mata uang Australia dan cenderung stabil terhadap Euro, Yen Jepang dan mata uang Singapore.

Memang IDR mengalami depresiasi terhadap USD tetapi kondisinya masih lebih baik dibandingkan beberapa negara BRICS seperti Brazil, dan Rusia (yang mengandalkan pendapatan dari penjualan minyak mentah); juga dibandingkan dengan Australia serta Kanada khususnya pada masa 2015.

Neraca perdagangan Indonesia dengan USA diberikan pada grafik berikut ini.

Catatan. Sumbu kanan adalah nilai tukar USD – IDR.

Dengan melihat pada grafik, ekspor cenderung tidak bertambah secara berarti; sementara nilai impor turun sebagai dampak kenaikan depresiasi nilai tukar IDR.

 

Gejolak Sistem Keuangan Dunia

International Monetary Fund (IMF) sedang dalam tahapan akhir untuk memasukkan mata uang China Yuan (CNY) dalam basket SDR (Special Drawing Right) yang direncanakan berlaku pada Januari 2016. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi adalah China harus melepaskan kebijakan “pegging” pada nilai tukar CNY. Jika kemudian kebijakan “pegging” ditiadakan (diprakirakan pada September atau Oktober 2015), maka arus dana luar akan mengalir ke China karena pertumbuhan ekonominya lebih baik daripada USA dan juga tingkat imbalannya.

Spiral deflasi dan “Currency Wars” serta posisi USD yang super kuat akan berdampak balik pada perekonomian USA khususnya perdagangan dan penurunan kinerja korporasi. Kondisi ini akan terlihat pada laporan kinerja korporasi pada Triwulan-II dan Triwulan-III 2015. Jika terbukti kinerja korporasi tidak memuaskan dan proyeksi kinerja masa depannya juga tidak menjanjikan imbalan yang sesuai ekspektasi maka investor akan mencari tempat yang lain dengan menarik dananya dari USA. Dalam situasi ini akan timbul kepanikan pada pasar keuangan USA.

Kondisi panik ini akan menjalar sehingga berpotensi menimbulkan Krisis Besar pada Sistem Keuangan Dunia dan dapat disebut sebagai Great Deflation Crisis.

 

Indonesia adalah bagian dari sistem keuangan dunia dan situasi krisis membuat tidak nyaman namun tetaplah : Hope for the best and Prepare for the worst.

 

Awal Agustus 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun