Krisis Mata Uang dan Perilaku Usaha
Depresiasi nilai tukar Rupiah (IDR) terhadap Dolar Amerika (USD) yang terjadi sejak 2012 sering dikaitkan dengan trauma Krisis Moneter 1998. Anjloknya nilai tukar pada pertengahan Agustus 1998 hingga mencapai lebih dari IDR 15.000 untuk menukarkan USD 1, bagaikan pukulan palu meremukkan tatanan perekonomian Indonesia. Dari pembelajaran Krismon 1998, beberapa penyebab antara lain : (1). Praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam dunia usaha, (2). Perilaku sesat dan spekulatif dalam berinvestasi khususnya pada aset (sektor property menjanjikan imbalan besar dalam waktu singkat akibat kenaikan harga dan sering disebut speculative assets); (3). Perilaku berutang dengan mata uang asing tanpa lindung nilai atau hedging, untuk masa pendek (short term) yang digunakan untuk investasi jangka panjang atau spekulasi; (4). Dampak tularan (contagion effect) regional dan serangan spekulasi pada mata uang (speculative attack) sebagai akibat kebijakan nilai tukar tetap (fixed exchange rate); (5). Pertumbuhan ekonomi yang “gemerlap” (ingat : Asian Tiger) yang hanya mengandalkan konsumsi dan melupakan pengembangan industri unggulan yang dapat meningkatkan nilai tambah.
Pemulihan pasca Krismon 1998 meninggalkan luka yang sangat mendalam pada perekonomian termasuk hilangnya aset-mengkilap yang harus dialihkan (baca : dijual) kepada pihak asing; termasuk kerusakan sektor industri akibat berhenti berproduksi. Butuh waktu 4-5 tahun agar perekonomian bertumbuh wajar.
Lantas apakah yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini ?
Modus KKN ternyata berulang dengan variasi yang lebih canggih. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan partai politik, pejabat pemerintah dan BUMN, kalangan pengusaha, serta praktek kolusi dalam perdagangan khususnya impor merupakan indikasi adanya KKN. Dalam berutang dan memanfaatkan pinjaman luar negeri, disiplin keuangan dilanggar. Niat ekspansi mengandalkan pinjaman luar negeri pada kenyataannya hanya sebagian digunakan untuk investasi pada sektor produktif; sedangkan lainnya lagi-lagi untuk hal yang menjanjikan quick-yield atau spekulasi pada fixed-asset. Kondisi “boom” yang didapat dari sektor komiditi termasuk sumber daya alam (minerba) lebih banyak digunakan untuk konsumtif bukan untuk investasi dan pengembangan sumber daya. Industri unggul tetap tidak berhasil dibangun dan pada saatnya mengalami tekanan kewajiban untuk membayar utang, muncul kepanikan dan kerancuan dalam mengatur langkah.
Pemerintah pun tidak luput dari kelalaian membangun faktor penting menciptakan keunggulan komparatif yaitu infrastruktur yang mendukung pengembangan industri. Tidak terwujud industri andalan yang memberikan manfaat besar bagi perekonomian. Bahkan tatanan pengembangan industri tidak hadir untuk menjadi panduan bagi dunia usaha.
Krisis keuangan yang menghantam USA pada 2008 telah melahirkan kebijakan moneter The Fed berupa Quantitative Easing. Dampaknya, tersedia dana murah jangka pendek yang menggoda bagi banyak pengusaha. Tawaran kredit dalam valuta asing dengan interest pada kisaran 5-6% dan persyaratan mudah tentu akan lebih menarik daripada pinjaman atau kredit perbankan nasional yang berada pada rentang 13-14%. Kredit murah dalam USD untuk jangka waktu pendek ternyata virus yang kemudian membawa resesi bagi perekonomian Indonesia dan variasinya “flu” Resesi Neraca (Balance Sheet Recession).
Pertumbuhan Ekonomi yang Berbalik Arah
Memperhatikan kondisi perekonomian Indonesia pada 10 tahun terakhir pasca pulih dari krisis moneter, khususnya dalam masa 2004 – 2014, tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP) seakan berputar ibarat jarum jam yang kembali pada titik semula.
Dalam masa yang sama, anggaran belanja pemerintah selalu mengalami defisit tetapi naik atau turunnya angka pertumbuhan tidak terlalu berkaitan dengan kondisi defisit ini. (Tingkat korelasi tingkat pertumbuhan dan defisit : 0.35).