Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Antisipasi Sentimen dan Spekulasi

22 Juli 2015   04:29 Diperbarui: 22 Juli 2015   15:28 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hi Lite

Kutipan kata-kata Peter Drucker (management expert, pendidik, penulis) : " The best way to predict the future is to create it". Permasalahan yang selalu dianggap sebagai biang ketidakstabilan nilai tukar adalah keputusan The Fed USA menaikkan suku bunga acuan (Fed Rate) yang hingga Juni 2015 masih ditunda berdasarkan keputusan Board of Governors pimpinan Janet Yellen. Kenaikan suku bunga acuan The Fed konon akan berdampak pada "capital flight" dana asing dari pasar uang dan pasar saham Indonesia. Sehingga, perlu antisipasi dengan memahami faktor Kekuatan yang dimiliki dan mengenali Kelemahan yang terkadang tidak terlihat; juga mencermati Peluang yang dapat ditangkap tanpa melupakan Ancaman yang dapat membuat gejolak hingga melahirkan kemelut atau krisis dalam perekonomian Indonesia. Sesuai dengan words of wisdom di atas, maka akan lebih baik mempersiapkan dan mengkonsolidasi kemampuan yang dimiliki untuk membangun kepercayaan diri bukan sekedar menunggu datangnya krisis tetapi sigap dalam menangkap peluang yang muncul.

Rasionalitas dan Perilaku

Perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka berlandaskan pada ekspektasi rasional. Sistem ekonomi terbuka dalamnya mencakup pasar barang dan jasa, pasar tenaga kerja, pasar uang, dan pasar manca negara (internasional); Sehingga perekonomian Indonesia akan berinteraksi dan terintegrasi dalam lingkup domestik dan internasional.

Selaras dengan perkembangan dan perubahan, perekonomian dengan ekspektasi rasional diperkaya ekonomi berbasis perilaku (Behavioral Economic) yang berkaitan dengan proses berpikir, wawasan psikologi, sosiologi, politik, budaya dan hukum dalam menentukan pilihan dan putusan. Dengan pengayaan tersebut, diharapkan kajian dan analisis ekonomi lebih nyata dan hidup serta berdasarkan asumsi yang lebih realistis sebagaimana pelaku ekonomi berperilaku dalam situasi dan kondisi yang erat mempengaruhi putusannya.

Pada kenyataannya, pilihan dan pengambilan keputusan sering dipengaruhi persepsi sesat (cognitive biases) tanpa memperhatikan faktor landasan dan runtut logika pemikiran, serta layak dan langgengnya pilihan. Beberapa contoh dari tasiran sesat antara lain : tendensi negatif (berpikiran atau senang dengan hal dan berita negatif atau Negativity Bias), rasionalisasi pasca pilihan (upaya pembenaran atas pilihan; Post Rationalization Bias), Efek Keterikutan (terpengaruh dan terikut dalam aliran atau pengaruh putusan banyak orang walaupun tidak sesuai dengan rasional sendiri; Bandwagon Effect). (Tentang cognitive biases dapat dilihat pada artikel : Cognitive Biases).

Dalam persepsi sesat muncul hal yang disebut “sentimen” atau sikap atau pemahaman yang berlebihan terhadap suatu kondisi atau kejadian. Demikianlah, perekonomian yang selayaknya berkembang dalam alur pikir dan runtut logika yang sehat tetapi kemudian sesat dalam pilihan dan putusan.

Faktor Eksternal pada Semester-II 2015

Memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia pasca 2011, trend pertumbuhan menurun atau disebut masa resesi; tapi pada trend jangka panjang angka pertumbuhan meningkat (lihat : Asa dalam Siklus Perekonomian). Dalam semester pertama 2015, isu atau kondisi ekstenal (non domestik) yang selalu dijadikan sentimen adalah prediksi pertumbuhan ekonomi dunia yang tertekan (kontraksi) berdasarkan proyeksi lembaga dunia seperti Bank Dunia dan IMF; Kebijakan The Fed USA yang akan menaikkan suku bungan acuan (setelah 5 tahun tidak mengalami kenaikan), dan masalah utang pemerintah (sovereign debt) khususnya pada Zone Euro yaitu Yunani. Penyusutan pertumbuhan ekonomi dialami sebagian besar negara khususnya Tiongkok yang selama beberapa tahun mengalami pertumbuhan tahunan “double-digit” (diatas 10%). Masalah utang Yunani, telah melewati masa krisis walaupun belum tuntas sedangkan kebijakan kenaikan suku bunga acuan The Fed masih ditunda tetapi besar kemungkinan dalam 2015.

Apa saja yang akan menjadi sentimen pada semester II 2015 ?

Krisis Utang Pemerintah dan Kondisi Tiongkok

Masalah utang pemerintah tetap menjadi sorotan khususnya pada negara-negara di Amerika Latin yang penerimaannya bergantung pada penjualan minyak misalnya Venezuela, Brazil, Mexico; serta Argentina yang masih berurusan dengan sengketa utang. Masalah yang hampir serupa dialami negara di belahan Afrika seperti Nigeria, Afrika Selatan; juga beberapa di Eropa seperti Ukraina, Croatia, Spanyol, Portugal dan Rusia. (Lihat : Beyond Greece, the world is filled with debt crises).

Bagaimana dengan Indonesia ? Yang kritikal dalam hal utang Indonesia adalah utang swasta yang mencapai lebih dari USD 160 miliar dan sekitar 30% sudah pada posisi jatuh tempo dalam satu tahun. Resiko gagal bayar (default) utang swasta yang paling parah adalah kebangkrutan dan pengambilalihan kepemilikan.

Lantas bagaimana dengan Tiongkok yang pasar sahamnya di Shanghai sempat mengalami “crash” pada akhir Juni 2015 lalu ? Kondisinya tetap akan menjadi perhatian tetapi dengan kemampuan finansial yang dimiliki, Tiongkok akan mampu menanggulangi gejolak.

Kenaikan Suku Bunga Acuan The Fed

Rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed bukan suatu hal yang baru dan sudah lama dibahas. Sejak 1990, kenaikan suku bunga terjadi pada besaran 25 basis poin (0,25% sebanyak 26 kali), besaran 50 basis poin (0,5% sebanyak 4 kali) dan satu kali pada besaran 75 basis poin (0,75%); dengan demikian kenaikan diprakirakan pada 25 basis poin. Akibat kenaikan tersebut mata uang USD (Dolar Amerika) menjadi sangat kuat dari antara mata uang kuat dunia (USD, Euro, Yen Jepang, dan Pound Sterling; empat mata uang yang digunakan IMF dalam cadangannya). Benar bahwa perekonomian USA sedang bagus tetapi kondisi mata uang yang kuat berdampak pada persaingan produk USA di pasar internasional. Dampaknya ekspor USA turun sementara barang impor akan membanjiri pasar USA; kondisi yang mengancam sektor produksi. USD yang kuat dan “almost risk free” mengakibatkan USD kembali ke “kampung halaman”nya atau terjadinya “capital flight” pada negara asal yang menyebabkan depresiasi nilai tukar terhadap USD. Kondisi depresiasi nilai tukar akan direspon dengan berbagai tindakan. Tetapi gejolak tidak dapat dihindarkan sehingga keseimbangan perdagangan barang dan jasa serta aliran dana terganggu. Dalam kondisi gejolak, bank sentral dari setiap negara akan bereaksi dengan berbagai kebijakan dan akan mendapatkan berbagai respon serta sentimen dari pasar yang cenderung sesat persepi dan paham. Juga, kondisi yang berubah cepat dan tidak stabil dapat menimbulkan kemelut atau “chaos”, walaupun hanya karena kenaikan 25 basis poin.

Keyakinan Diri Terhadap Sentimen dan Spekulasi

Jika diibaratkan bahtera yang mengarungi samudera, angin topan dan gelombang tinggi merupakan keadaan yang harus siap dihadapi. Bagi penumpang yang berada dalam bahtera tentunya tidak cukup bersiap dengan obat anti mabuk dan goncangan tetapi sudah juga harus siap dengan kondisi terburuk. Bagi nakhoda dan segenap mualim, juru kemudi, dan awak bahtera tentunya sudah memiliki panduan dan melakukan persiapan dalam menghadapi badai dan topan.

Trauma Krismon 1998 atau kebangkrutan ala Yunani seakan menghadirkan ancaman bagi perekonomian Indonesia; tetapi perlu memahami dampak faktor eksternal terhadap kestabilan sistem keuangan Indonesia.

1. Sentimen akibat krisis utang pemerintah, belajar dari pengalaman krisis utang Yunani, tidak perlu cemas berlebihan. Alasannya setiap kawasan (misalnya Amerika Latin, Afrika, Zona Eropa) akan berusaha menanggulanginya bersama IMF. Dari daftar negara yang berpotensi mengalami krisis utang, “trade value”nya dengan Indonesia tidak besar.

2. Kondisi cadangan devisa yang ada pada Bank Sentral per akhir Triwulan-I/2015 seperti pada grafik di bawah, termasuk juga posisi utang swasta dan kurs tukar USD-IDR.

Penjelasan. Sumbu kiri merupakan kurs tukar (rerata) USD-IDR dan sumbu kanan merupakan cadangan devisa dan posisi utang swasta dalam miliar USD.

Merujuk pada External Debt Statistik yang diterbitkan Bank Indonesia, kewajiban utang pemerintah untuk masa Mei hingga Desember 2015 besarnya USD 5.901 miliar sedangkan kewajiban utang swasta hingga akhir tahun diprakirakan sebesar USD 36 miliar (75% dari total kewajiban hutang USD 47 miliar yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun).

Besaran posisi cadangan devisa, ditambah dukungan pinjaman siaga (standby loan) dari beberapa Bank Sentral negara lain (misalnya Korea, Tiongkok, Jepang) dianggap mampu menghadapi ancaman “capital flight” akibat kenaikan suku bunga acuan The Fed. Termasuk dalamnya ancaman pencairan Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki “non resident”, kebutuhan untuk kewajiban utang pemerintah, serta kebutuhan impor barang dan jasa hingga 6 (enam) bulan (dengan asumsi per bulan USD 11 miliar).

Ancaman lain berupa serangan spekulasi (Speculative Attack) yang berdampak pada kurs tukar akan dapat dieliminasi sejalan dengan kebijakan free floating exchange rate serta operasi pasar terbuka yang dilakukan Bank Sentral dengan jaminan dukungan cadangan devisa dan pinjaman siaga. Sebagai tambahan, dengan memperhatikan grafik pada trend kurs tukar, intervensi yang dilakukan Bank Indonesia, ternyata tidak berdampak pada penggerusan cadangan devisa.

Dengan penjelasan di atas, kecemasan terulangnya Krismon 1998, yang salah satu penyebabnya adalah “speculative attack” (tindakan untung-untungan dengan mengharapkan hasil besar), adalah sikap yang berlebihan tanpa memahami posisi cadangan devisa dengan kemampuan menangkal ancaman.

Jika faktor eksternal dan sentimen yang ditimbulkan sudah ada penangkalnya, lalu apakah ancaman pada perekonomian Indonesia ?

Bahaya yang mengancam bagaikan “vicious cycle” (lingkaran setan) permasalahan yang saling berkait dan penjelasan sebagai berikut.

1. Problem Resesi pada Neraca (Balance Sheet Recession Problem). Perusahaan yang menanggung utang, terutama dalam valuta asing, akan berusaha mengurangi beban utang (atau menghindari utang) dengan melakukan penghematan dan pengetatan dalam belanja serta meniadakan kegiatan investasi. (lihat artikel : Bayar Utang Bikin Resesi). Tanpa investasi, jangan mengharapkan peningkatan pendapatan dan imbalan (return) sehingga usaha akan mengalami penyusutan.

2. Masyarakat akan cederung berhemat atau mengurangi belanja serta jika memungkinkan memilih untuk menabung. Dalam kondisi perekonomian tertekan, akan tumbuh rasa tidak percaya kepada pemerintah dan dikuasai sikap yang bertendensi negatif (Negativity Bias).

3. Perbankan yang selayaknya mendukung dunia usaha, berada dalam posisi tertekan akibat menanggung dana dari pengembalian pinjaman dan simpanan masyarakat sementara ekspansi kredit (pinjaman terutama untuk usaha) tidak berkembang.

Dalam kondisi demikian, pemerintah telah berusaha untuk menghindari pengetatan belanja bahkan terus mendorong melalui belanja rutin dan investasi agar menjadi stimulus penggerak perekonomian.

Program stimulus membutuhkan dukungan pendanaan yang selayaknya dialirkan melalui perbankan. Juga, perlu memotivasi dunia usaha agar tidak terjebak hanya dalam penyelesaian masalah Resesi Neraca tetapi mempertahankan belanja serta berinvestasi dengan dukungan perbankan. Untuk hal yang berkaitan dengan perbankan diperlukan terobosan dari Bank Indonesia, tetapi tidak perlu diintervensi karena Bank Indonesia pasti sudah sangat memahaminya.

Tiada perlu cemas berlebihan dan dikuasai tafsiran serta persepsi sesat dalam menghadapi sentimen atau serangan spekulasi; karena ancaman sudah diperhitungkan dan penangkalan sudah disiapkan.

How deep is the depth, how high is the height … be cool calm and confident.

 

Usai libur Hari Raya, pekan keempat Juli 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun