1. Defisit Anggaran. Dari penjelasan Menteri Keuangan, defisit anggaran akan diatasi melalui utang secara bilateral dan multilateral (misalnya pinjaman Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia) dan penerbitan Surat Utang. Perlu dipahami, dalam kondisi resesi, peran pemerintah tampil sebagai penggerak (stimulus) perekonomian sangat diperlukan. Dari kajian, penurunan utang pemerintah sesungguhnya berdampak negatif terhadap pertumbuhan. (Lihat artikel : Sirkuit Kemelut Perekonomian dan Solusi Krisis dalam Fenomena Overdosis Utang). Dalam hal ini kebijakan Menteri Keuangan untuk tetap berupaya mencapai sasaran pembangunan, utamanya infrastruktur, layak mendapatkan JEMPOL !
2. Inflasi. Angka inflasi secara tahunan menunjukkan trend penurunan dan dalam menghadapi hari raya pemerintah berupaya untuk mengendalikannya. Gejolak yang muncul hanya sesaat dan lebih disebabkan pada persepsi atas informasi yang tidak valid. Sebagai catatan, terlalu terpaku mengejar target inflasi (5% +/- 1%) bukan strategi yang baik dalam menghadapi resesi karena akan menjadi kendala pada penentuan kebijakan suku bunga.
3. Aliran Dana Masuk. Dari informasi yang diterbitkan Bank Indonesia, hingga Mei 2015, aliran dana masuk sebesar Rp. 43,9 Triliun (lihat : Sepanjang 2015 Aliran Dana Asing Masuk Ke Indonesia Rp. 43,9 Triliun). Selain itu, investasi langsung dari luar negeri mulai mengalir secara bertahap dan situasi ini akan memperbaiki perekonomian khususnya kurs tukar.
4.Spekulasi dan Sentimen. Faktor fluktuasi nilai tukar USD-IDR antara lain tindakan spekulasi yang dipengaruhi sentimen atau persepsi “buruk” serta aksi membeli USD tanpa alasan atau kebutuhan akibat terimbas informasi sesat (bandwagon effect). Khususnya aksi spekulasi, kerjasama dengan bank sentral dalam kawasan (antara lain dengan Jepang, Korea, China) merupakan tameng tangguh untuk mengatasi serangan spekulasi. Sentimen atau dampak dari kebijkan The Fed USA untuk sementara dapat diabaikan. Sedangkan penyelesaian sengketa utang Yunani tidak akan membuat gejolak karena ECB (European Central Bank) tidak ingin krisis terjadi di kawasan Euro Zone. Kalaupun akan ada sentimen lain, mungkin pada prakiraan dan spekulasi terjadinya “bursts” pada harga saham di Tiongkok.
Resesi dan Pemulihan
Trend pertumbuhan perkonomian Indonesia memang menunjukkan resesi (lihat artikel : Asa dalam Siklus Perekonomian). Tetapi tidak perlu bereaksi berlebihan atau negatif yang lantas memberikan dampak memperburuk situasi (negative feedback). Memperhatikan kondisi yang ada, ternyata beberapa indikasi menunjukkan perbaikan dan peningkatan menuju tahapan pemulihan.
Bagi masyarakat, terhadap informasi yang diterima, perlu cermat dan tidak perlu reaksi berlebihan namun cerdas dalam tindakan.Bagi kalangan pengusaha, dalam kondisi resesi tidak berarti melakukan tindakan gegabah berhenti beroperasi tetapi sebaiknya tetap bertahan (survival) karena merupakan kesempatan membangunan ketangguhan.
Khusus bagi Pemerintah, dalam menghadapi resesi, pemulihan ala obat analgesic atau pain killer (penghilang rasa sakit) sering menggoda padahal hasilnya semu dan sementara. Hindari kebijakan sesaat atau sporadis (misalnya dalam masalah perpajakan) yang mengharapkan hasil yang cepat atau “instant yield” tetapi menimbulkan gejolak pada dunia usaha. Pembangunan ekonomi beserta pertumbuhan yang ingin dicapai selayaknya berkelanjutan pada suatu perencanaan berwawasan masa depan agar memiliki landasan yang kokoh serta tangguh terhadap terpaan. Dalamnya pasti akan terkandung pertimbangan kualitas.
Senin penghujung Juni 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H