Dari 3 (tiga) tabel di atas ada beberapa catatan.
1. Peringkat pertama pengutang industri keuangan (bank & leasing) dengan pertumbuhan 13,72%. Sebagai sumber pendanaan, hal ini dapat dimaklumi. Tetapi dibandingkan pertumbuhan PDB dan ekspor, pendanaan yang dilakukan tidak produktif, bahkan menjurus konsumtif atau bahkan spekulatif.
2. Peringkat kedua manufacturing menghadapi persaingan dan tekanan harga di pasar manca negara sehingga pendapatan turun. Juga pada Mining & Drilling sehingga diprakirakan akan kesulitan memenuhi kewajiban utang. Pada peringkat selanjutnya, hampir semua pendapatannya dalam Rupiah sehingga depresiasi nilai tukar berdampak tambahan beban perusahaan (kecuali diberlakukan lindung nilai atas utangnya)
3. Dalam penggunaan utang, Refinancing bertambah 36,19% mengindikasikan adanya permasalahan dalam tata kelola utang. Sementara utang untuk Investasi hanya bertambah 6,48% menunjukkan kurangnya minat dan daya tarik berinvestasi atau kecilnya proyeksi imbalan (return). Hal ini pertanda awal pada proyeksi pertumbuhan masa mendatang akan tertekan akibat rendahnya pertumbuhan investasi.
4. Dari jumlah utang dengan maturitas kurang dari satu tahun USD 46.765,67 berarti sejumlah USD 11.691 Juta diperlukan (secara rerata) per triwulan untuk pemenuhan kewajiban. Surplus perdagangan hanya sebesar USD 6.980 Juta (Triwulan IV 2015) sehingga ada kekurangan (defisit) dan berlanjutnya tekanan depresiasi nilai tukar. (Lihat kajian dalam artikel : Gejala Krisis Akibat Depresiasi Rupiah dan Tekanan Utang)
5. Dampak utang dan depresiasi nilai tukar bagai spiral down ward yang menambah beban pihak swasta sehingga (sangat) berpotensi “default” (wanprestasi utang) berlanjut dengan kebangkrutan atau pengambilalihan perusahaan.
So What Next
1. “BOLEH ATAU TIDAK BOLEH UTANG” bukanlah kesimpulan. Utang diperlukan negara dalam pembangunan demi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan serta memenuhi kekurangan anggaran. Bagi perusahaan, utang untuk ekspansi dan operasional sehingga meningkatkan marjin atau keutungan. Permasalahannya pada tata kelola utang dalam pemerintahan atau perusahaan termasuk sektor keuangan (perbankan), yang beraroma “moral hazard” dari pelakunya.Utang ibarat obat penguat adalah “input” yang dengan perencanaan, disiplin tata kelola dan pengendalian akan memberikan “output” (jangka pendek) dan “outcome” (jangka panjang) berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi bagi negara; atau peningkatan imbalan dan “value” perusahaan. Peningkatan utang tanpa pertumbuhan ibarat “overdosis obat berdampak komplikasi”.
2. Kondisi anggaran defisit yang dibiayai dengan utang bukan hal membahayakan sejauh defisit itu timbul untuk kebutuhan pembangunan. Tetapi defisit anggaran berkepanjangan dan terus meningkat tanpa diimbangi pertumbuhan ekonomi akan membentuk lilitan utang yang tidak berkesudahan (Debt Downward Spiral).
3. Fluktuasi Kurs tukar merupakan indikator keadaan perekonomian negara dalam perdagangan mancanegara. Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD mengindikasikan turunnya kemampuan produksi dalam kompetisi perdagangan mancanegara.
4. Peningkatan utang dengan variasi defisit anggaran, depresiasi nilai tukar, dan turunnya nilai ekspor (disertai turunnya surplus perdagangan) ibarat TRILEMA permasalahan dalam “TURBULENSI” krisis perekonomian yang membelenggu tanpa kesudahan.