Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Walau BBM Naik Namun Empatik

16 September 2014   09:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:33 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ikhtiar era Fajar Pengharapan

Era pemerintahan baru Jokowi-JK (JKW-JK) untuk masa 2014-2019, di persada Nusantara, Negara Kesatuan Republik Indonesia, segera bergulir setelah pelantikan pada 21 Oktober 2014. Besar pengharapan dari segenap rakyat kepada sepasang anak bangsa, yang kelak bersama kabinetnya membawa bangsa Indonesia merengkuh masa depan yang lebih baik. Hal ini merupakan ikhtiar (endeavour) selaras amanat Proklamasi Kemerdekaan RI 1945 yang dititipkan para pejuang kemerdekaan.

JKW-JK menerima estafet pemerintahan usai era Presiden SBY. Selama satu dekade, banyak penghargaan diterima Presiden SBY atas keberhasilan kepemimpinannya dari berbagai negara sahabat serta organisasi atau lembaga internasional. Namun, tidak sedikit keluhan dan ungkapan ketidakpuasan yang muncul dari rakyat Indonesia atas buah karya Presiden SBY.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk melakukan evaluasi atau bernostalgia. Pula tidak untuk menatap masa lalu yang telah usai agar tidak menjadi tiang garam. Namun, dalam asa “Terus Melangkah (Move-On)” dengan tatapan bahwa Esok Kan Masih Ada, beberapa buah pikiran lahir dari benak yang luhur sebagai sumbangsih anak bangsa kepada persada tercinta.

Senjang dan serakah buah pertumbuhan nir rata

Erat melekat dalam benak, ungkapan Persada Nusantara Elok Bak Untaian Permata Katulistiwa dan Negeri Kolam Susu yang subur kaya makmur dalam lingkar Ring of Fires, membentuk paradigma bahwa Indonesia mendapatkan anugerah dari Sang Pencipta untuk diupayagunakan dalam mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan bagi kehidupan segenap rakyat.

Namun potret kehidupan 245 juta penduduk Indonesia (2014), berkata lain. Di negeri kolam susu, dalam pemenuhan pangan bagi rakyat, pemerintah harus pontang panting melakukan impor dari negeri seberang. Untaian permata katulistiwa, bukanlah jaminan bagi rakyat untuk mendapatkan nafkah karena terbatasnya lapangan kerja dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang. Bahkan, dalam lingkar Ring of Fires, ungkapan krisis enerji merupakan momok kehidupan sebagian besar rakyat dengan bumbu tak sedap yaitu kenaikan harga BBM karena anggaran pemerintah tidak kuat menanggung subsidi nan membengkak.

Upaya mencapai peningkatan kemakmuran bagi segenap rakyat, sejatinya membawakan hasil yang menyenangkan, namun kenyataannya mengarah tidak sesuai. Dalam situasi ini, hanya sebagian kecil rakyat yang menikmati pertumbuhan (Growth) menuju pada tingkatan menengah (mid-class), namun kenyataannya berdampak pada timbulnya kesenjangan (Gap) rakyat kebanyakan. Demi mencapai tingkatan yang lebih tinggi lagi, muncul ketamakan (Greedy) untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya dan menikmati dengan sepuas-puasnya. Kian tergerus rasa kepedulian dan kesetiakawanan untuk selalu menjaga keseimbangan dan saling memerlukan dan melengkapi. Perlahan namun pasti, timbul ‘kemiskinan dan kemelaratan berkelanjutan’ (Forever Poverty and Slump) dan konyolnya kondisi ini dianggap takdir. Lantas apa yang salah dalam “ikhtiar” (Endeavour) menggapai kemakmuran segenap rakyat dengan mahzab pertumbuhan ? Apakah perilaku (behaviour) yang konon luhur dari budaya yang berkembang dalam keberagaman bangsa telah luluh dalam perjalanan waktu ?

Enerji dan realitas negeri Ring of Fires

Faktanya enerji secara absolut merupakan kebutuhan utama, selain pangan, sandang dan papan, dalam setiap kegiatan individu, keluarga dan masyarakat serta industri dengan berbagai variannya. Sungguh tidak dapat diterima akal sehat, di negeri yang dilingkari Ring of Fires, terjadi Krisis Enerji. Defisit dalam pemenuhan kebutuhan enerji merupakan ‘same old story’ yang seakan ‘tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan’. Tuntutan masyarakat akan enerji khususnya BBM, lantas menjadi isu rawan dan menuju berpotensi krisis sosial akibat paranoid ‘kenaikan harga BBM’ dengan dampak kenaikan harga. Yang ada dalam benak rakyat adalah enerji itu murah dan harus mampu disediakan pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan segenap rakyat dengan berbagai ulah-lakunya. Romantisme masa lalu bahwa Indonesia negara penghasil minyak mentah terus menyandera dan membelenggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun