Usiaku lebih mudah satu tahun dari Eta. Saat itu, Eta berusia sembilan belas tahun. Menjelang ujian, aku bertanya kepadanya, "Apakah setelah selesai dari SMA kamu mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak?" Saat aku bertanya demikian dia tersenyum, dan berkata, "Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya cari duit juga." Aku tak dapat membantah sebab dengan kondisi saat ini tanpa uang "kita tak ada apa-apanya." Beda dengan mereka yang dulu hidup belum mengenal uang.
Setalah kami lulus, Eta mengajakku mencari kerja tetapi aku tidak mau karena ingin melanjutkan pendidikan S1, sedangkan Eta melamar kerja di salah satu perusahaan. Singkat cerita, aku lulus dari universitas. Karena tidak kunjung mendapat pekerjaan, aku melamar di perusahaan yang sama-tempat Eta bekerja. Saat itu, Eta adalah kepala toko. Aku pun mulai bekerja. Siang itu, hari pertama bekerja, aku dan Eta duduk depan teras toko usai makan siang kami istirahat sejenak.
"Benarkan, apa yang pernah aku bilang ke kamu?!" kata Eta sambil meneguk teh pucuk dingin. Aku hanya diam, tak menanggapinya. "Buktinya kamu lulusan S1 bekerja juga di sini!" lanjutnya setelah membakar sebatang rokok surya sambil menunjuk toko di belakang kami itu. "Kamu benar," sambil mengelak, "Tapi beda. Cara berpikir kita berbeda." Dia tertawa setelah aku mengucapkan itu. "Ali, Ali. Kamu dari dulu tetap sama. Mimpi kamu itu terlalu tinggi. Mana ada kita sebagai karyawan toko dengan gaji dua juta bisa seperti mereka."
Eta menganggap mimpiku terlalu tinggi dan tak mungkin aku mampu mewujudkan mimpiku itu. Setelah bercerita selama tiga puluh menit, kami masuk ke dalam toko melanjutkan pekerjaan masing-masing.
Hari sudah sore, kami bersiap-siap pulang. Karena kost dan toko tempatku bekerja hanya lima puluh meter jadi aku jalan kaki. Aku lebih dulu pulang. Saat mau belok masuk lorong, menuju kostku, "Ali, Ali. Ini yang kamu bilang akan menjadi seperti mereka?" Di tertawa kecil saat aku menengoknya dengan wajah berkeringat karena jalan kaki di bawah terik sebelum matahari ditelan bumi barat. Lalu Eta pergi dengan motor Mio milik nya tanpa pamit.
Satu tahun kemudian, siang itu, Eta mengajakku makan di sebuah warung kecil yang belum lama dibuka di pinggiran jalan utama depan Petamina WKO-Tobelo. Warung itu hanya berjarak seratus meter dari tempat kami bekerja. Lalu kami memesan satu paket ikan mujair bakar plus pisang goreng. Tak lama, paket yang kami pesan tadi disajikan oleh seorang pelayan.
"Terima kasih." Ucapku kepada pelayan itu.
"Sama-sama," balasnya.
Kami pun melahap makanan sampai habis setelah pelayan kembali bekerja.
"Bagaimana, enak?" tanya Eta.
"Enak." Jawabku sambil mengelus perutku yang sudah terisi masi plus ikan mujair.