Seorang tuan memiliki empat benih. Saat hendak menabur benih pertama, musim kemarau tiba. Tuan tersebut kebingungan dan ingin pasrah karena musim tak bersahabat.
Dengan terpaksa menabur benih pertamanya itu. Dalam waktu singkat, tuan terkejut; sebab benih yang ditaburnya mulai tumbuh subur.
Lagi lagi kemarau tak kunjung usai, Ia menabur benih kedua. Ketika benih kedua mulai tumbuh dan hendak menghasilkan buah, badai melanda.
Namun tuan tak lagi goyah, mungkin Ia sudah terbiasa dengan badai yang terus melanda atas benih pertama dan kedua--hatinya telah dilatih untuk sabar.
Tuan pun tak peduli lagi apakah benih pertama dan kedua menghasilkan buah atau tidak--Ia tak pedulikan lagi. Akhirnya benih ketiga pun ditabur.
Benih ketiga ini berbeda dengan benih pertama dan kedua--ini stimewa. Setelah ditabur di tanah yang khusus namun "seseorang mengambilnya," tanpa seizinnya.
Sungguh betapa malangnya nasib tuan; Ia merenung panjang. Suatu ketika, seseorang yang tak dikenal datang membawa benih tersebut.
Walau pun benih itu tak lagi miliknya, Ia bahagia karena "orang yang mengambilnya" telah merawatnya dengan baik.
Akhirnya benih terakhirnya ditabur dengan sukacita sebab benih pertama dan kedua telah menghasilkan buah. Dan menjadikan benih ketiga sebagai penyemagatnya.
Weda, 20 November 2023
Arnol Goleo [22:46]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H