Mohon tunggu...
Arnol Goleo
Arnol Goleo Mohon Tunggu... Lainnya - Anakmomen

"Cukup pagi hari 'kau minum air susu ibumu', jangan sampai malam 'kau genggam buah dadanya.'"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel "Negeri Terasing" (#3)

5 Februari 2023   21:43 Diperbarui: 6 Februari 2023   04:40 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Setelah kami mengunjungi rumah duka, siang sekitar pukul 12:00 teman-teman sekolahku pulang ke masing-masing desanya begitu juga dengan beberapa guru yang ikut bersama kami tadi pagi. Sedangkan aku tidak sebab aku dan Henri (almarhum) satu desa yaitu Desa Bailengit.

Kira-kira pukul 15:00 di hari yang sama pula mereka (beberapa guru dan siswa siswa sekitar tujuh orang) kembali lagi di rumah duka untuk mengikuti ibadah pemakaman Henri sekaligus menyumbangkan satu lagu untuknya dengan judul: "Sio Kawanku."

Di pertengahan ibadah, saat jenazah teman kami itu mau dihantarkan ke tempat "perhentian" terakhirnya, pemimpin ibadah (pendeta) memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyanyi.

Saat menyanyi, dipertengahan lagu yang dibawakan siswa siswa SMA BPD hampir tak bisa lagi dilanjutkan melihat ibu Henri dengan tangis berucap kata; "Henri bangun, lihat, teman-temanmu ada di sini!" Sambil mengusap-usap wajah Henri di dalam peti itu dengan seragam lengkap putih abu-abu.

Seusai menyanyi jasad Henri langsung diangkat oleh petugas pengantar jenazah lalu dibawa ke belakang rumah atau liang kubur untuk dimakamkan serta diiringi kidung pujian.

Dua bulan kemudian sekolahku mengadakan pengumuman naik kelas. Aku dan Oab adalah siswa yang naik kelas bersyarat. Maksudnya adalah selama enam bulan tidak boleh absen juga uang komite tidak boleh menunggak. Kami berdua menjalani itu selama waktu yang ditentukan oleh pihak sekolah. Sedangkan Henri tinggal nama.

Baca juga: Patah

Seiring berjalannya waktu, teman-teman satu kampung satu persatu mulai pindah sekolah. Tadinya dari desaku mendaftar dua puluh orang sekarang tinggal lima orang seusai mereka pindah.

Satu tahun kemudian (2014) aku sudah duduk di bangku SMA kelas XII. Semester awal tahun itu GMIH terpecah belah menjadi dua Sinode begitu juga dengan keluargaku. Aku dan keluarga kecilku berjumlah enam orang. Ayah, ibu dan ketiga adikku "pindah gereja" ke GMIH yang baru sedangkan aku seorang diri bertahan di GMIH lama.

"Terpecah belah nya GMIH seusai PILGUB. Sehingga di desaku, Desa Bailengit, sering rusuh begitu juga dengan tetangga desa sebelah bahkan hampir disetiap desa di seluruh Provinsi Maluku Utara merasakan hal itu."

Seiring berjalannya waktu aku tidak nyaman lagi tinggal di rumah bersama ayah, ibu dan ketiga saudaraku sebab aku dianggap sebagai "aib" di dalam keluarga dan rumah ini.

Di akhir tahun 2014 aku mengikuti peneguhan sidi baru. Sebelum diteguhkan menjadi anggota sidi baru, dihari sabtu atau malam minggu diadakan pembinaan terhadap calon anggota Sidi yang baru yaitu kami sebanyak 22 orang.

Malam ini, dalam gereja, kiri kanan kulihat teman-temanku didampingi ayah dan ibu mereka beserta saksi ayah dan ibu baptis waktu kecil sedangkan aku seorang diri, saksi ayah dan ibu baptis pun aku tak tahu mereka di mana.

"Hidupku hancur juga masa depanku, aku tak tahu lagi harus ke mana dan berharap kepada siapa."

Hari ini, minggu, kami diteguhkan langsung diberikan juga Surat Sidi. Seusai peneguhan semua hidangan menjamu majelis dan pendeta makan siang telah siap namun sepersen pun aku tidak memberikan (saat kami patungan menyiapkan hidangan ini). Juga Surat Sidi-ku sepersen pun tidak "dipunggut" biaya, "semua orang menjadikan aku sebagai anak saudara mereka sendiri."

Mendekati Ujian Nasional (UN) di SMA BPD saya menghadapi banyak tantangan di dalam keluarga (ayah dan ibu). "Nak, kalau kamu tidak ikut bersama ibu, keluar dari rumah ini. Ikutlah bersama mereka karena kamu lebih mendengarkan kata mereka daripada mendengarkan kata-kata ibu dan ayahmu di sini." Kata ibu kepadaku.

"Dan kalau kamu tidak mendengarkan lagi kata-kata kami, kami tidak akan melanjutkan sekolahmu." Lajut ibu. "Aku tidak akan pergi, sebab ini rumahku dan mereka adalah ayah dan ibuku." Dalam hati kecilku berkata.

Seusai ibu memarahiku, ibu beranjak masuk ke dapur. Aku sedikitpun tak berucap hanya menangis hingga aku pergi ke belakang rumah. Aku menatap langit dan berkata, "Ya Tuhanku, mengapa Engkau membiarkan ujian seberat ini hadir dalam hidupku."

"Apa aku bunuh diri saja biar rasa sakit dan derita ini hilang."

Bersambung...

Bailengit, 5 Februari 2023
Arnol Goleo [22:25WIT]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun