Malam ini, dalam gereja, kiri kanan kulihat teman-temanku didampingi ayah dan ibu mereka beserta saksi ayah dan ibu baptis waktu kecil sedangkan aku seorang diri, saksi ayah dan ibu baptis pun aku tak tahu mereka di mana.
"Hidupku hancur juga masa depanku, aku tak tahu lagi harus ke mana dan berharap kepada siapa."
Hari ini, minggu, kami diteguhkan langsung diberikan juga Surat Sidi. Seusai peneguhan semua hidangan menjamu majelis dan pendeta makan siang telah siap namun sepersen pun aku tidak memberikan (saat kami patungan menyiapkan hidangan ini). Juga Surat Sidi-ku sepersen pun tidak "dipunggut" biaya, "semua orang menjadikan aku sebagai anak saudara mereka sendiri."
Mendekati Ujian Nasional (UN) di SMA BPD saya menghadapi banyak tantangan di dalam keluarga (ayah dan ibu). "Nak, kalau kamu tidak ikut bersama ibu, keluar dari rumah ini. Ikutlah bersama mereka karena kamu lebih mendengarkan kata mereka daripada mendengarkan kata-kata ibu dan ayahmu di sini." Kata ibu kepadaku.
"Dan kalau kamu tidak mendengarkan lagi kata-kata kami, kami tidak akan melanjutkan sekolahmu." Lajut ibu. "Aku tidak akan pergi, sebab ini rumahku dan mereka adalah ayah dan ibuku." Dalam hati kecilku berkata.
Seusai ibu memarahiku, ibu beranjak masuk ke dapur. Aku sedikitpun tak berucap hanya menangis hingga aku pergi ke belakang rumah. Aku menatap langit dan berkata, "Ya Tuhanku, mengapa Engkau membiarkan ujian seberat ini hadir dalam hidupku."
"Apa aku bunuh diri saja biar rasa sakit dan derita ini hilang."
Bersambung...
Bailengit, 5 Februari 2023
Arnol Goleo [22:25WIT]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H