Tapi justru yang menjadi masalah adalah sebaliknya.Yakni selesai pemilu sepertinya memperlakukan partai bagai seorang diktator tersembunyi pura-pura malu padahal sebetulnya yang dipikirkan adalah manuver kacang goreng yang hanya mementingkan orang dekatnya saja. Jika berseberangan dengannya, maka bersiaplah kader tersebut untuk segera di potong karir politiknya.
Bentuk penyimpangan seperti inilah seharusnya di kontrol oleh rakyat agar para elit ini tidak semena-mena dan semaunya saja berkuasa dalam internal parpolnya. Mekanisme seperti apa untuk mengontrol mereka, tentunya para ahli tatanegara lah yang lebih ahli untuk membahas khusus soal ini.
Dengan senjata ancaman pecat memecat kepada kader yang tidak sejalan dengan pikirannya atau menugaskan seseorang tapi sebetulnya justru seseorang menjadi budaknya parpol atau elitnya. Maka telah membuat kita rakyat menjadi penonton yang tidak bisa berbuat apa-apa melihat kelakuan para elit seperti ini.
Kedua :
Jika ada kader parpol yang jelas-jelas didepan mata rakyat membuat kesalahan baik melakukan korupsi, tindak pidana KDRT, tindak pidana terlibat narkoba dan berbagai tindakan pidana lainnya. Kadang dalam menanganinya para elit parpol yang bersangkutan terkesan pilih kasih dan lambat untuk menyelesaikannya, perlakukan parpol kepada politisi yang melanggar hukum tersebut seolah dibiarkan begitu saja tanpa ada tindaknya nyata. Bahkan kadang dengan berkelakar ada yang nyeletuk ah mungkin saja si A setorannya kencang jadi dia tidak diapa-apakan? Tenang saja aman, selagi entertaiment jalan maka semua bisa diatur? Miris memang kalau kondisi ini benar-benar terjadi.?
Siapa yang akan mengatur atau mengontrol kelakuan elit-elit parpol yang seperti ini?. Membiarkan pelanggaran yang terjadi tanpa sedikit pun tergerak untuk menjatuhkan sangsi kepada kadernya yang melanggar hukum? Artinya ada politik kongkalikong yaitu kerja sama yang saling menguntungkan untuk menutupi kelakuan mereka?
Ketiga :
Jika musim pilkada, maka yang namanya biaya operasional partai, mahar untuk partai, administrasi partai, uang lelah dan berbagai jenis biaya-biaya. Mulai bermunculan secara mendadak saat calon-calon yang ingin melamar suatu partai tertentu.
Calo-calo politik dari para kader bergentayangan seolah mereka bisa menghubungkan dengan para elit parpolnya. Para calon Gubernur, Bupati, Walikota bagai masuk dalam rumah mafia. Jika ingin mendapatkan surat dukungan dari partai politik tersebut.
Lingkaran setan calo maupun mafia politik jelas dan nyata akan terlihat jika menjelang pilkada. Lalu siapakah yang bisa melawan mafia pilkada ini? Rakyatkah?. Internal parpolkah?
Celah ini adalah celah kemunafikan yang luar biasa? Biasanya para elit seolah tutup mata dengan permainan kader-kader ditingkat bawa, membiarkan seolah para calon pelamar kebingungan, dengan kebingungan artinya biaya yang akan di keluarkan oleh si calon akan semakin banyak?
Saya bisa memberi contoh konkrit misalkan si M mau maju menjadi calon, persyaratan pertama yang di ajukan parpol yang bersangkutan adalah melihat visi misi para si calon.
Jadi si M disuruhlah melamar dan untuk segera memasukan lamaran agar sampai ke para elitnya tentu melalu para staffnya. Setelah menunggu beberapa waktu barulah ada panggilan untuk dilaksanakan interview di dengar visi dan misinya.
Habis interview tentu ada entertaiment untuk makan-makan, pulsa, dan berbagai keperluan lainnya sesuai apa yang menjadi permintaan kader-kader partai tersebut. Ingat ini barulah interview satu calon biasanya yang diinterview beberapa calon. Serta biasanya kata perpisahan sehabis interview adalah “pak M tunggu saja nanti kami rapat dan tim lah yang akan memutuskan”.
Maka biasanya menjelang rapat banyak tuh mata-mata yang memonitor rapat tersebut dan melaporkan kepada para calon-calonnya. Si calon biasanya ketar-ketir juga maka paling tidak dia harus menyiapkan dana cash disaaat genting penentuan dirinya untuk diterima atau tidak sebagai calon.
Selanjutnya dalam rapat internal biasanya didahulu oleh laporan dari tim penjaringan yang telah bekerja menginterview para calon. Maka jika calon itu ditingkat kabupaten maka yang memimpim rapat adalaah ketua DPC, jika gubernur maka DPW. Tapi nanti putusan terakhir adalah di DPP yaitu ketua umum partainya.
Bisa kita bayangkan betapa panjang rantai birokrasi yang di buat parpol dalam menentukan atau memilih calonnya untuk menjadi gubernur atau bupati/walikota. Setiap tingkatan birokrasi artinya harus menyiapkan uang. Jika tidak menyiapkan uang paling tidak harus berperilaku yang bisa meyakin mereka para kader partai. Satu saja yang anti atau pura-pura cerewet maka itu artinya biaya yang harus dikeluarkan?
Birokrasi internal parpol yang berbelit-belit dan tak ada satupun yang bisa mengontrol mereka. Siapapun di republik ini tak mampu untuk masuk kedalam urusan internal parpol yang penuh dengan rekayasa untuk mengambil kesempatan disaat penyaringan calon?