Sindrom Othello dapat dirasakan oleh semua orang, baik wanita maupun pria. Namun, menurut penelitian di California, dari 20 kasus Sindrom Othello sebanyak 19 orang merupakan pria. Ditemukan 80 persen pria dari kasus tersebut telah menikah dan telah hidup dengan pasangannya.Â
Menurut penelitian ini, dibutuhkan rata-rata waktu 10 tahun bagi seorang individu untuk merasakan delusi dari kecemburuan. Selain itu, individu dengan orientasi heteroseksual maupun homoseksual, juga bisa mengidap Sindrom Othello. Namun, tidak ditemukan hubungan antara etnis dengan sindrom tersebut (Coltheart et al., 2011).
Seseorang dengan Sindrom Othello akan melakukan tuduhan perselingkuhan berulang, melakukan interogasi berulang, pencarian bukti, dan menguntit aktifitas pasangan.Â
Seseorang dengan sindrom Othello, akan mempersepsikan kejadian yang tidak relevan sebagai bentuk ketidak setiaan pasangan dan tidak mau mengubah keyakinan mereka. Sindrom Othello dapat muncul dengan sendirinya ketika seseorang mengalami kecemburuan yang tidak wajar.Â
Namun, adanya gangguan Skizofrenia paranoid, ketergantungan alkohol atau kokain, pengalaman masa kecil, dan faktor lain juga mampu mendorong timbulnya kondisi ini.
Menurut teori Psikodinamika, Othello Syndrome dapat berkembang dalam diri individu yang memiliki kecemasan terhadap penolakan dan pengabaian. Individu yang merasa tidak berharga, merasa lemah, tidak kompeten, tidak menarik, dan berpikiran negatif lainnya mengenai dirinya sendiri juga menambah potensi Sindrom Othello.Â
Selain itu, seseorang yang memiliki gangguan kepribadian ambang atau Borderline Personality Disorder (BPD) mampu mendorong seseorang mengidap Sindrom Othello. BPD ditandai dengan pola emosi yang tidak stabil, hubungan yang tidak stabil, citra diri yang berubah-ubah, dan cenderung melakukan tindakan berbahaya yang dilakukan dengan cepat sesuai dengan kondisi hati (bersifat impulsif).
Sindrom Othello juga dapat berkembang dari kesalahan kognitif atau proses berpikir. Kesalahan kognitif dapat dilihat dalam bentuk kesalahan sistematis dalam proses pentafsiran stimulus di dalam otak (persepsi) mengenai sebuah peristiwa.Â
Kesalahan interpretasi stimulus tersebut mendorong individu dengan Sindrom Othello untuk cenderung membuat distorsi atau pemutarbalikan fakta dan aturan.Â
Selain itu, individu dengan Sindrom Othello cenderung salah melakukan interpretasi kejadian dan informasi. Kesalahan-kesalahan interpretasi dan persepsi ini mendorong timbulnya asumsi yang salah dan timbulnya Sindrom Othello (Kingham & Gordon, 2004).
Dibutuhkan berbagai penanganan dan terapi yang tepat untuk mengatasi Sindrom Othello karena sindrom ini mampu memberikan dampak negatif bagi pasien dan pasangannya.Â