Mohon tunggu...
Arnold Japutra
Arnold Japutra Mohon Tunggu... Dosen - Edukator

Pemerhati dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seni Muslihat: Refleksi akan Bahaya Laten Media Sosial

10 Juni 2019   10:15 Diperbarui: 10 Juni 2019   10:26 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa saat yang lalu, saya terhenyak ketika membaca sebuah artikel di media bereputasi mengenai kasus dari seorang artis ibukota yang tanpa ijin menggunakan foto orang lain di media sosialnya. 

Foto tersebut sekarang telah dihapus setelah mendapatkan protes dari pemilik sah kepada sang artis. Namun yang menjadi pembahasan saya kali ini adalah mengenai media sosial yang bisa menjadi seni muslihat yang sangat berbahaya.

Art of Deceitful

Mengapa saya menyebut ini sebagai seni muslihat? Pembahasan ini mengenai sebuah foto yang ditampilkan diunggah ke laman media sosial sang artis. 

Perdebatan mengenai foto adalah bagian dari seni telah berlangsung ratusan tahun. Namun perdebatan ini berakhir ketika foto sungai Rhine yang diambil Andreas Gursky terjual sebesar $4.3 juta di tahun 2011. Foto merupakan bagian dari seni.

Lalu mengapa muslihat? Sang artis mengunggah foto tersebut ke laman media sosialnya tanpa mencantumkan sumber dan hak cipta. Caption yang disertakan bersama foto tersebut juga tidak mengindikasikan bahwa foto tersebut merupakan milik orang lain dan lebih kepada memori pengalaman sang artis ketika berkunjung ke sebuah destinasi. 

Apa yang terjadi? Orang-orang yang melihat foto tersebut beranggapan bahwa foto tersebut adalah foto sang artis. Bayangkan, sang artis memiliki puluhan juta pengikut di laman media sosialnya. Artinya sebesar itu pula banyaknya orang yang salah kaprah mengenai foto tersebut.

Bahaya Laten

Dari kejadian di atas, hal-hal negatif apa saja yang mungkin terjadi? Hal non-laten yang mungkin terjadi adalah tuntutan hukum. Litigasi terhadap penggunaan foto yang bukan merupakan karya sendiri akan menimbulkan kerugian materiil bagi pihak yang menyalahgunakan foto tersebut. Namun di balik bahaya non-laten, terdapat bahaya-bahaya laten yang jauh lebih mengancam.

Bahaya laten pertama yang mungkin terjadi adalah terhadap well-being seseorang. Best, Manktelow dan Taylor (2014), melalui systematic literature review yang mereka lakukan, mencatat beberapa dampak negatif dari teknologi online kepada remaja, seperti: meningkatnya eksposur terhadap cedera fisik, isolasi sosial, depresi dan cyber-bullying.  

Hawton, Saunders dan O'Connor (2012) memperlihatkan bahwa hal-hal tersebut dapat meningkatkan keinginan seseorang untuk menyakiti diri sendiri dan bahkan melakukan tindakan bunuh diri. Tentu hal ini tidak hanya terbatas pada kalangan remaja.

Bahaya laten kedua yang mungkin terjadi adalah meningkatnya konsumerisme. Seorang artis tidak dapat dipungkiri merupakan role model bagi banyak orang, terutama para pengikutnya. 

Banyak yang berusaha meniru dan mengidentifikasi diri mereka dengan role model ini karena mereka merasa memiliki keterikatan yang sangat tinggi. Japutra, Ekinci dan Simkin (2017) mengungkap bahwa keterikatan seseorang yang tinggi terhadap sebuah merek dapat meningkatkan kecenderungan untuk melakukan compulsive buying. 

Keterikatan ini tidak hanya terbatas kepada merek tetapi mungkin saja kepada sang artis dan merek-merek yang digunakannya. Banyak riset yang telah mencatat bahwa konsumerisme tinggi dapat berdampak buruk pada kondisi finansial (misal: hutang bertumpuk) bahkan kepada diri sendiri (misal: sesal, depresi).  

Memutus rantai bahaya laten

Bahaya laten ini harus diputus dengan segera sebelum menimbulkan kerugian yang lebih besar. Media sosial sudah menjadi tempat untuk berbisnis sehingga banyak unggahan-unggahan yang tidak bertanggung jawab dan menjurus kepada muslihat. 

Regulasi harus dibuat tidak hanya mengatur segi ekonomi (misal: pajak) tetapi juga harus mengatur aspek sosial agar hal-hal seperti ini tidak terulang.

Selain itu, para role models yang seringkali disebut social influencers ini juga harus diberikan edukasi bahwa mereka berperan terhadap well-being seseorang. Bahwa perbuatan mereka dijadikan contoh yang akan ditiru banyak orang. 

Bukan hanya mereka, tapi peran orang tua, teman dan diri kita sendiri sebagai jaring sosial di dunia nyata memiliki peran yang penting untuk meminimisasi hal-hal yang buruk terjadi. Mulailah dengan tidak menghakimi seseorang hanya berdasarkan tampilan luar. 

Selain itu, biasakanlah selalu cek dan ricek bahkan konfirmasi dari sebuah berita sebelum menganggap itu benar dan ikut menyebarkannya.

Perusahaan sosial media juga turut berperan dalam memutus rantai bahaya ini. Mereka tidak hanya harus reaktif (berdasarkan laporan) tetapi juga harus lebih proaktif dalam membasmi hal-hal yang tidak sesuai dan dapat berdampak negatif. 

Sebuah sistem harus dibuat dan diaplikasikan agar hal-hal yang melanggar dapat diketahui dengan segera. Misalnya dengan menggunakan perangkat lunak yang dapat mengecek kemiripan sebelum sebuah foto dapat diunggah. 

Akhir kata, marilah kita bersama-sama refleksi akan bahaya laten dari media sosial. Dengan refleksi ini, diharapkan kita semua dapat lebih bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial demi kebaikan kita semua. 

Referensi

Best, P., Manktelow, R., & Taylor, B. (2014). Online communication, social media and adolescent wellbeing: A systematic narrative review. Children and Youth Services Review, 41, 27-36.

Hawton, K., Saunders, K. E., & O'Connor, R. C. (2012). Self-harm and suicide in adolescents. The Lancet, 379(9834), 2373-2382.

Japutra, A., Ekinci, Y., & Simkin, L. (2017). Self-congruence, brand attachment and compulsive buying. Journal of Business Research.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun