Beberapa saat yang lalu, saya terhenyak ketika membaca sebuah artikel di media bereputasi mengenai kasus dari seorang artis ibukota yang tanpa ijin menggunakan foto orang lain di media sosialnya.Â
Foto tersebut sekarang telah dihapus setelah mendapatkan protes dari pemilik sah kepada sang artis. Namun yang menjadi pembahasan saya kali ini adalah mengenai media sosial yang bisa menjadi seni muslihat yang sangat berbahaya.
Art of Deceitful
Mengapa saya menyebut ini sebagai seni muslihat? Pembahasan ini mengenai sebuah foto yang ditampilkan diunggah ke laman media sosial sang artis.Â
Perdebatan mengenai foto adalah bagian dari seni telah berlangsung ratusan tahun. Namun perdebatan ini berakhir ketika foto sungai Rhine yang diambil Andreas Gursky terjual sebesar $4.3 juta di tahun 2011. Foto merupakan bagian dari seni.
Lalu mengapa muslihat? Sang artis mengunggah foto tersebut ke laman media sosialnya tanpa mencantumkan sumber dan hak cipta. Caption yang disertakan bersama foto tersebut juga tidak mengindikasikan bahwa foto tersebut merupakan milik orang lain dan lebih kepada memori pengalaman sang artis ketika berkunjung ke sebuah destinasi.Â
Apa yang terjadi? Orang-orang yang melihat foto tersebut beranggapan bahwa foto tersebut adalah foto sang artis. Bayangkan, sang artis memiliki puluhan juta pengikut di laman media sosialnya. Artinya sebesar itu pula banyaknya orang yang salah kaprah mengenai foto tersebut.
Bahaya Laten
Dari kejadian di atas, hal-hal negatif apa saja yang mungkin terjadi? Hal non-laten yang mungkin terjadi adalah tuntutan hukum. Litigasi terhadap penggunaan foto yang bukan merupakan karya sendiri akan menimbulkan kerugian materiil bagi pihak yang menyalahgunakan foto tersebut. Namun di balik bahaya non-laten, terdapat bahaya-bahaya laten yang jauh lebih mengancam.
Bahaya laten pertama yang mungkin terjadi adalah terhadap well-being seseorang. Best, Manktelow dan Taylor (2014), melalui systematic literature review yang mereka lakukan, mencatat beberapa dampak negatif dari teknologi online kepada remaja, seperti: meningkatnya eksposur terhadap cedera fisik, isolasi sosial, depresi dan cyber-bullying. Â
Hawton, Saunders dan O'Connor (2012) memperlihatkan bahwa hal-hal tersebut dapat meningkatkan keinginan seseorang untuk menyakiti diri sendiri dan bahkan melakukan tindakan bunuh diri. Tentu hal ini tidak hanya terbatas pada kalangan remaja.