Perhatian
Ini bukan sambungan dari cerpen "Dual". Saya hanya membuat cerpen beda tema dengan nama karakter yang sama. :)
Aku menggenggam seluruh jemari wanita yang berada di sampingku. Lembut. Selembut pintalan benang sutra. Terbuai. Aku terbuai dalam ilusi yang terpancar lewat tatapan mata. Aku dan dia berada di surga keabadian. Bersenda gurau begitu lepas seolah dunia tak lagi mengganggu kemesraan kami. Kubelai wajah suci tak bernoda kala aku dan dia larut dalam anggur cinta yang memabukkan akal pikiran. Tak kujumpai setitik cela dan noda di lengkungan wajah manis nan ayu. Apakah keindahan rupa yang membuatku terpikat padanya? Atau nafsu berahi yang begitu membara menginginkannya menjadi kasihku?
+++
Sudah ketiga kali aku mengerjapkan kelopak mataku. Mengajakku untuk bangkit dari tidur lelap sepanjang malam berlalu. Tapi tubuhku enggan beranjak dari sana ketika kulewati rangkaian mimpi indah yang terlalu sayang diakhiri. Namun, aku harus menjalani hari-hari pemberian sang Tuhan saat berkas sinar begitu keras menerpa mataku.
Sebelum diriku benar-benar meninggalkan kamar, kulihat sebuah raga terkulai lemah di balik selimut putih. Dia sudah membuka kelopak mata dengan kornea hitam kecoklatan. Kudekati dan kusingkap sedikit selimut yang menudungi tubuhnya. Ketika hendak mengangkat selimut itu, dia memelototiku penuh murka. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya.Tapi yang pasti, aku sudah mengetahui alasan mengapa dia tak mau melepaskan selimut itu.
“Mengapa dunia selalu memberikan duka kepada insan lemah? Tapi aku begitu bodoh, mengapa aku tak sanggup melawan? Apakah aku turut menikmati aliran cinta yang merasuk ke otakku? Apa racun yang disuntikkan ke dalam nadiku sehingga aku rela jatuh ke dalam peluk mautmu, kak Alvaro?” tanya Aretha dengan suara lirih.
Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Aretha. Aku bisa saja marah besar dengan perkataan adikku yang begitu menohok hati. Tapi, aku berusaha sabar meskipun batin bergejolak hebat bak lahar gunung berapi yang siap meledak.
“Apa maksud perkataanmu, Adikku? Siapa yang mengatakan dirimu lemah? Siapa yang mengatakan kau bodoh? Dan perlu kautahu, tidak ada racun yang kucekok ke dalam nadimu.” Aku duduk di samping Aretha yang masih terbaring dalam tudungan selimut.
“Mengapa kau tega melakukan hal ini pada adik kandungmu sendiri, kak Alvaro?! Kenapa?! Tidakkah kau menyesal dengan apa yang kaulakukan? Tidakkah kau—“
“CUKUP! Aku melakukan hal ini karena aku begitu menyayangimu, Aretha!”
Emosiku melonjak drastis ketika adikku lagi-lagi mengatakan perkataan yang begitu nyeri di telinga. Mulut Aretha bungkam, tak bersuara melihat kemarahan kakaknya yang sudah berada di tiitik puncak. Aretha memalingkan pandangan ke kiri tak mau beradu tatap denganku.
“Aku ingin kau menjadi kekasihku, Aretha. Menemanimu sampai ajal menjemput sukma kita berdua. Aku tak ingin lelaki lain bersanding dengan dirimu. Aku telanjur mencintaimu. Aku sangat menyayangimu lebih dari rasa sayang ibu yang melahirkan kita dan cinta kasih ayah kita padamu. Aku ingin meleburkan segala perasaan yang terpendam begitu lama di relung hatiku. Dan ranjang suci ini, telah menjadi saksi bahwa kita telah mengikatkan hubungan lahir dan batin dilandasi dengan cinta kedua belah pihak. Yaitu kau dan aku, Aretha,” jelasku panjang lebar.
Saat aku mencoba menjamah pipi Aretha, sungguh tak kuduga cairan bening berbuih mendarat secepat kilat di wajah tampanku. Rasanya, aku seperti tidak bisa menahan getaran di tanganku untuk mendaratkan bogem mentah di wajah Aretha. Lagi-lagi, aku berusaha meredam emosiku. Aku tidak ingin kepalan tanganku menghancurkan wajah ayu pemberian sang Tuhan. Lewat tatapan mataku, aku ingin menyelami kedalaman pikiran adikku sekaligus mencari jawaban tepat mengapa dia bisa bertindak selancang itu padaku.
“Kau gila, Alvaro! Kau gila!”
Gumpalan kecil air mata mulai menggenang di pelupuk mata Aretha. Siap menetes, membasahi wajah yang berhiaskan ketegangan, tadi. Aku ingin menghapus air mata itu tapi Aretha malah menghardikku.
“Pergi kau! Aku tidak ingin melihat wajahmu di tempat ini! PERGI!”
Aretha menutup raut wajah yang sudah dibanjiri air mata dengan selimut yang digenggamnya. Sebenarnya, aku tak tega meninggalkan dirinya sendirian di sana. Tenggelam dalam kedukaan mendalam. Tapi melihat lontaran emosi yang terucap dari bibir tipisnya, mau tak mau aku, harus beranjak dari kamar.
Mengapa kau tidak bisa melihat dalamnya cintaku padamu, Aretha? Apakah kebencian sudah menghanguskan seluruh benih-benih cinta yang kutanamkan dihatimu, Adikku? Apakah rasa sayang yang kumiliki dan kupersembahkan padamu adalah salah besar bahkan dosa besar? Bukankah, cinta tidak mengenal siapa dan kapan dirinya akan singgah di hati seseorang? Kalau cinta itu salah momen dan salah insan, bisakah diriku menggugat kegilaan yang diberikan sang Tuhan padaku?
Aku menepis semua prasangka buruk yang meliputi otakku. Aku yakin Aretha mencintaiku. Hanya butuh waktu agar Aretha bisa merasakan tulusnya kasihku padanya. Aku ingin mengganti kasih sayang ayah dan ibu yang telah lama dirantai belenggu karier. Mereka melupakan bahwa kami bukan hanya butuh materi tapi juga butuh kasih sayang. Tapi aku tak menyesali hal itu. Sebagai seorang kakak sekaligus kekasih, aku harus bisa mengayomi adik sekaligus kekasih hatiku, Aretha. Aku harus sanggup memanggul beban yang berat itu. Dan kutahu Tuhan pasti akan membantuku. Dan sekarang yang kulakukan adalah membuat sarapan dan mengantarkan pakaian Aretha ke kamarku. Akan tetapi, aku harus menyuruhnya mandi terlebih dahulu. Membasuh tubuhnya lembut dari sisa-sisa pergumulan tadi malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H