“Aku ingin kau menjadi kekasihku, Aretha. Menemanimu sampai ajal menjemput sukma kita berdua. Aku tak ingin lelaki lain bersanding dengan dirimu. Aku telanjur mencintaimu. Aku sangat menyayangimu lebih dari rasa sayang ibu yang melahirkan kita dan cinta kasih ayah kita padamu. Aku ingin meleburkan segala perasaan yang terpendam begitu lama di relung hatiku. Dan ranjang suci ini, telah menjadi saksi bahwa kita telah mengikatkan hubungan lahir dan batin dilandasi dengan cinta kedua belah pihak. Yaitu kau dan aku, Aretha,” jelasku panjang lebar.
Saat aku mencoba menjamah pipi Aretha, sungguh tak kuduga cairan bening berbuih mendarat secepat kilat di wajah tampanku. Rasanya, aku seperti tidak bisa menahan getaran di tanganku untuk mendaratkan bogem mentah di wajah Aretha. Lagi-lagi, aku berusaha meredam emosiku. Aku tidak ingin kepalan tanganku menghancurkan wajah ayu pemberian sang Tuhan. Lewat tatapan mataku, aku ingin menyelami kedalaman pikiran adikku sekaligus mencari jawaban tepat mengapa dia bisa bertindak selancang itu padaku.
“Kau gila, Alvaro! Kau gila!”
Gumpalan kecil air mata mulai menggenang di pelupuk mata Aretha. Siap menetes, membasahi wajah yang berhiaskan ketegangan, tadi. Aku ingin menghapus air mata itu tapi Aretha malah menghardikku.
“Pergi kau! Aku tidak ingin melihat wajahmu di tempat ini! PERGI!”
Aretha menutup raut wajah yang sudah dibanjiri air mata dengan selimut yang digenggamnya. Sebenarnya, aku tak tega meninggalkan dirinya sendirian di sana. Tenggelam dalam kedukaan mendalam. Tapi melihat lontaran emosi yang terucap dari bibir tipisnya, mau tak mau aku, harus beranjak dari kamar.
Mengapa kau tidak bisa melihat dalamnya cintaku padamu, Aretha? Apakah kebencian sudah menghanguskan seluruh benih-benih cinta yang kutanamkan dihatimu, Adikku? Apakah rasa sayang yang kumiliki dan kupersembahkan padamu adalah salah besar bahkan dosa besar? Bukankah, cinta tidak mengenal siapa dan kapan dirinya akan singgah di hati seseorang? Kalau cinta itu salah momen dan salah insan, bisakah diriku menggugat kegilaan yang diberikan sang Tuhan padaku?
Aku menepis semua prasangka buruk yang meliputi otakku. Aku yakin Aretha mencintaiku. Hanya butuh waktu agar Aretha bisa merasakan tulusnya kasihku padanya. Aku ingin mengganti kasih sayang ayah dan ibu yang telah lama dirantai belenggu karier. Mereka melupakan bahwa kami bukan hanya butuh materi tapi juga butuh kasih sayang. Tapi aku tak menyesali hal itu. Sebagai seorang kakak sekaligus kekasih, aku harus bisa mengayomi adik sekaligus kekasih hatiku, Aretha. Aku harus sanggup memanggul beban yang berat itu. Dan kutahu Tuhan pasti akan membantuku. Dan sekarang yang kulakukan adalah membuat sarapan dan mengantarkan pakaian Aretha ke kamarku. Akan tetapi, aku harus menyuruhnya mandi terlebih dahulu. Membasuh tubuhnya lembut dari sisa-sisa pergumulan tadi malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H