Mohon tunggu...
army refado
army refado Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Apa dan Bagaimana Major Depressive Disorder Dipahami ?

24 Januari 2016   12:02 Diperbarui: 4 April 2017   16:44 9048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Peristiwa-peristiwa yang dialami dalam konteks sosial dapat menyebabkan individu mengalami gangguan depresi mayor. Salah satu penyebabnya adalah tekanan sosiokultural yang hebat yang dapat memiliki efek yang menekan dengan menurunkan aktivitas neurotransmitter dalam otak. Selain itu bagaimana kemampuan coping individu juga mempengaruhi bagaimana tekanan dari sosiokultural dapat diatasi misalnya pada orang yang dapat menerima dukungan emosional dari orang lain mungkin lebih mampu untuk menghadapi efek-efek dari stres daripada mereka yang harus menghadapinya sendiri.

Ketidakpuasan pernikahan dapat menjadi penyebab depresi juga. Hidup bersama seseorang yang selalu negatif, berwatak buruk, dan pesimistis lama kelamaan akan terasa melelahkan. Oleh karena emosi itu menular, pasangan mungkin akan mulai merasa buruk juga. Interaksi semacam ini akan menyebabkan adu argumen atau bahkan kepergian pasangan (Joiner & Timmons, 2009; Whisman, Weinstock, & Tolejko, 2006). Bagaimanapun, MDD lebih banyak diderita oleh wanita daripada pria karena wanita lebih cenderung berhadapan dengan stresor psikososial yang tidak dialami pria dan kemauan wanita dalam menanggulanginya juga tidak sekuat pria.
Penelitian juga menunjukkan bahwa status sosioekonomi dan pemaparan terhadap trauma yang berhubungan dengan rasisme, kehidupan perkotaan, dan masalah finansial, berkorelasi dengan depresi dan penyakit mental lain (Caron & Liu, 2010; Gottlieb, Waitzkin, & Miranda, 2011; Kiima & Jenkins, 2010; Rhodes et al., 2010).
Walaupun begitu, tingkat depresi pada orang Asia relatif lebih rendah karena kecenderungan orang Asia mengacuhkan gejala afeksi dari depresi dan lebih mengandalkan gejala somatis.
Depresi berhubungan juga dengan kecenderungan bunuh diri. Walalupun berkorelasi tinggi, namun keduanya berdiri masing-masing. Orang dengan depresi tidak selalu melakukan bunuh diri, begitupun sebaliknya, orang yang bunuh diri belum tentu mengalami depresi. Orang depresi merasa dirinya merupakan beban bagi orang lain dan berkurangnya rasa dimiliki menyebabkan putus asa sampai akhirnya bunuh diri. Tingkat terjadinya bunuh diri tertinggi adalah di Cina, terutama pada wanita pedesaan. Bunuh diri dianggap solusi masalah finansial yang paling masuk akal.


PREVENSI

  1. Prevensi Primer
    Salah satu cara untuk mereduksi masalah akibat MDD adalah dengan meminimalisir arus terjadinya kasus MDD baru melalui pencegahan. Penyuluhan-penyuluhan mengenai gambaran diri positif dapat menjadi salah satu usaha pencegahan MDD, terutama pada remaja yang berada pada usia rentan timbulnya depresi. Kemudian dapat dilakukan juga penguatan faktor-faktor protektif seperti lingkungan sosial, kognitif, atau kemampuan problem-solving seseorang. Penting juga untuk lebih sadar akan gejala yang terjadi. Ketika gejala MDD mulai dirasa muncul pada individu, cobalah untuk meredakan gejala tersebut (Kim van Zoonen, dkk. 2014). Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga pola tidur yang baik, mencari kegiatan yang menyenangkan, berbicara pada orang yang mengerti perasaan kita, mencari lingkungan yang sehat di mana terdapat orang-orang yang peduli dan berpikiran positif dan menghindari konsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang karena mengandung depresan.
  2. Prevensi Sekunder
    Ketika seseorang didiagnosis MDD, hal pertama yang dokter lakukan adalah memberi resep obat antidepresan. Biasanya dokter memberi obat antidepresan. Mungkin hanya satu jenis, mungkin juga dikombinasikan. Pengobatan ini dimaksudkan untuk meredakan gejala-gejala psikologis dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan neurotransmitter. Pada dasarnya, obat-obat sebagai bentuk usaha melawan proses terjadinya psikopatologi secara biologis. Antidepresan yang mungkin diberikan misalnya bupropion, MAOI (monoamine oxidase inhibitor), TCA (antidepresan trisiklik), T3 (L-triiodotironin), litium karbonat, serta stimulan-stimulan seperti Dexedrine dan Ritalin.
    Selain dengan obat-obatan, terapi psikologis juga dapat dilakukan. Terapi Kognitif-Keperilakuan (Cognitive-Behavioral Therapy) dari Aaron T. Beck adalah yang paling dikenal. Terapi ini akan mengajarkan individu untuk melawan rasa atau pemikiran negatif terhadap dirinya. Klien akan diajarkan untuk bagaimana melihat suatu pola depresi dan hal-hal apa saja yang akan memicu gangguan depresi lebih parah. Kemudian klien akan juga diajarkan bagaimana pemecahan suatu masalah yang memicu gangguan depresi. CBT biasanya dilakukan sebanyak 15-20 sesi. Selain CBT, terapi dengan pendekatan psikoanalisis juga dapat digunakan yaitu dengan mencoba memberikan insight pada individu mengenai peristiwa kehilangan pada masa kanak-kanak dan hubungannya dengan ketidakmampuan serta sikap menyalahkan diri sendiri di masa dewasa.
  3. Prevensi Tersier
    Setelah individu terbebas dari episode depresi, upaya-upaya yang rehabilitatif harus dilakukan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya lagi episode depresi sehingga kesehatan mental individu dapat kembali ke kondisi normal. Biasanya, pemberian obat dan terapi psikologis yang sudah dijelaskan di atas tetap dilakukan. Selain itu, ada juga Psikoterapi Interpersonal (IPT) yang dikembangkan oleh Myrna Weissman dan Gerald Klerman yang berfokus pada pemecahan masalah interpersonal ketika mengalami MDD dan belajar membentuk pola hubungan interpersonal yang baru dan penting. Penelitian menunjukkan, terapi-terapi psikologis lebih dapat diandalkan untuk mencegah terjadinya kembali episode depresi

 

Penulis adalah mahasiswa fakultas psikologi Universitas Islam Bandung :

  1. Army Refado (10050013165)
  2. Nyimas Siti Intan S. (10050013183)

 

 

DAFTAR PUSTAKA
  Comer, Ronal J. (2014). Fundamentals of Abnormal Psychology Seventh Edition. New York: Worth Publishers.

  Davidson, Gerald C., Neale, John M., dkk. (1990). Abnormal Psychology, Fifth Edition. 1990. New Jersey: J. Wiley & Sons.

  Durand, V. Mark, Barlow, David H. (2013). Essentials of Abnormal Psychology Sixth Edition. Belmont: Wadsworth.

  Feliciano, Leilani, Renn, Brenna N. (2014). Mood Disorders: Depressive Disorders dalam Adult Psychopathology and Diagnosis Seventh Edition. New Jersey: J. Wiley & Sons.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun