Pada 3-4 Mei 1993 terjadi pemogokan buruh PT CPS Porong Sidoarjo menuntut kenaikan upah 20% sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 50/1992. Terdapat salah satu buruh perempuan yang menjadi penggerak pemogokan tersebut, yaitu Marsinah. Setelah melakukan pemogokan tersebut Marsinah menghilang pada malam hari tanggal 5 Mei 1993 dan kemudian ditemukan meninggal dunia pada 9 Mei 1993 di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk. Kematian Marsinah lambat laun ramai dibicarakan masyarakat hingga ke luar negeri dan banyak tuntutan agar pemerintah Indonesia segera mengungkap kasus kematianya.
Kasus kematian Marsinah tidak terlepas dari suasana politik nasional Orde Baru, artinya apa yang terjadi di Sidarjo (tingkat lokal), berhubungan erat dengan kebijakan dan sistem perburuhan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru. Hubungan negara dengan masyarakat, khususnya dalam konteks dunia perburuhan merupakan hubungan yang terjalin dengan wujud kebijakan dan sistem yang berat sebelah, artinya selalu mengesampingkan kepentingan buruh.
Kasus Marsinah hendaknya dapat menjadi contoh, baik tentang kegigihannya, keberaniannya maupun pengorbanannya dalam memperjuangkan haknya. Ke depan dalam memperjuangkan nasib kaum buruh dan pengangguran beserta petani, nelayan dan kaum margin di perkotaan tersebut dapat kita tempuh melalui berbagai upaya. Pertama, bangun sistem jaminan sosial nasional (jamsosnas) yang memiliki liputan yang lebih luas. Badan Jaminan Sosial Nasional sebagai lembaga (institusi) penyelenggara yang bersifat nirlaba yang dikelola secara profesional. Melalui lembaga ini kita dapat membangun berbagai kegiatan pembangunan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi untuk menciptakan lapangan kerja, sekaligus penyebaran penduduk dan usaha secara rinci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H