"Pak Dokter...saya termakan miang"... "Tujuh hari yang lalu... di rumah tetangga, sewaktu ada kenduri pernikahan." Pak Ibok, pasien ku ini memulai keluhannya.
Tidak seperti berobat biasanya, kali ini Ia menceritakannya dengan mimik serius.
"Benar dokter"..seolah tahu akan keraguanku Ia melanjutkan keluhannya,
"Tiba-tiba setelah selesai makan nasi kenduri, gigi saya gatal, dada panas, dan terasa berat seperti tertekan dan terdorong untuk mengeluarkan sesuatu...dan keluarlah darah itu..darah beku dokter seperti bermiang."
Mimik wajah pasien ku ini semakin serius, kemudian Ia melanjutkan: "Kata Dukun saya di'kasih' orang, ada yang sakit hati. Sudah tiga kali dikeluarkan tapi kata dukun harus ada obat dokter untuk luka dalamnya...tolonglah saya dokter".
Aku terdiam dan termenung, cerita seperti ini seolah terus berulang-ulang setiap Aku mendapatkan pasien dengan tersangka tuberkulosis.
Sudah Dua belas tahun Aku berada di Pulau ini mengabdi, namun cerita yang sama... Miang, miang, dan miang selalu berulang...adakalanya terkadang Aku sedih dan miris jika mendengar penuturan seperti ini. Budaya Miang atau Racun selalu menjadi kambing hitam jika seseorang batuk darah..
Oh Rab, fitnah budaya yang tak pernah hilang-hilang. Kapankah budaya miang ini akan hilang berganti dengan budaya ilmiah..?
"Dok..dok.." Pak Ibok bersuara keras. Aku tergagap, lamunanku sirna seketika.."Tolonglah obat luka dalamnya, kata dukun jika tidak dikasih obat luka dalamnya, Miang ini akan semakin menjadi-jadi".
"Oh Iya..ada baiknya saya periksa dulu. Dengan sigap ku ambil stetoskop dan mulai mempelajari kondisi dalam paru pasienku..hmm...'amforik' yang kutemukan di dada pasien menjadi aku semakin yakin bahwa ini adalah TBC.
"Pak Ibok, sebaiknya kita ronsen dada dulu dan periksa dahaknya" dan kita...belum sempat Aku melanjutkan keterangan, Pak Ibok langsung memotong " Tapi Dokter kalau bisa berikan saja vitamin dan obat luka dalamnya, rencana dua hari lagi dukun akan mengeluarkan lagi miangnya."
oh Rab..kenapa sulit sekali?"'Aku membatin menahan keprihatinan...
Tapi... saya anjurkan sebaiknya kita ronsen dan periksa dahak saja dulu, ini pengantar ronsennya, ke Rumah Sakit Daerah saja..." Aku memberikan argumen.
"Saya pikir ndak usah lagi, ini sudah jelas diracun orang..untuk apa ronsen lagi", Pak Ibok mulai ketus.
Aku mulai berpikir mencari solusi...Aku tak mau jika pasienku ini semakin jauh dari pengobatan rasional, mulai terbayang di pikiran, jika seandainya Pak Ibok gagal kuselamatkan dari TBC ini tentu akan ada pasien TBC yang sama 6 bulan ke depan dari kerabat Pak Ibok..Karena TBC aktif akan sangat mudah menjadi sumber penular potensial untuk keluarga terdekat. hmm...
"Baiklah, begini Pak Ibok..ronsen dan pemeriksaan dahak ini untuk mencari tahu seberapa besar luka dalamnya"
"Oo..kalau begitu baiklah, dokter. Tapi setelah ronsen dan periksa dahak saya kemana lagi..?"
"Hasilnya bawa kemari Pak, kita baca hasilnya.."
Hmm...sepertinya Aku berhasil, sebersit senyuman tersungging di wajahku..Alhamdulillah.
"Tapi dokter.., jangan lupa kasihkan juga obat luka dalamnya.."
"Ok Pak Ibok.."Aku tersenyum semakin yakin..
Semingu kemudian...Pak Ibok sudah berada di hadapan ku lagi dengan selembar ronsen dan hasil lab...
"Pak Ibok...dari hasil ronsen dan pemeriksaan dahak Pak Ibok, ini jelas-jelas Tuberculosis atau TBC, sebagian paru-paru Bapak sudah terkena, bisa jadi penyakit Bapak ini sudah berlangsung lama, bukan pada saat makan nasi kenduri".. sambil membaca ronsen Aku terus memberi penjelasan dan tentu saja dengan sepenggal doa...semoga pasienku bisa mengerti.
"Bukan miang dokter..?"
"Bukan,... ini TBC, penyakit paru-paru khronis, sudah lama... disebabkan basil Tuberculosis, harus berobat selama 6-9 bulan"
"Ahh..dak mungkin dokter, Saya ini kena racun. Sehabis makan kenduri, Saya langsung batuk darah...Saya sudah curiga, bahwa salah seorang tukang masak di dapur kenduri itu memang benci sama Saya.."
"Astaghfirullah..Pak Ibok jangan memfitnah, itu dosa dalam agama kita. Dalam ronsen dan dahak bapak ditemukan positif TBC"
"Ndak, Pak...Dukun bilang, saya ini termakan ramuan atau miang, sudah tiga kali dikeluarkan dalam piring putih, dan jelas-jelas nampak miang...dok..saya tetap tidak percaya ini TBC"
"Pak Ibok, TBC ini berbahaya bisa menular ke anak isteri..."
"Sudahlah dokter, ndak usah lagi cerita TBC. Begini saja, tambahkan lagi obat luka dalamnya..."
Subhanallah...sebuah kesalahan kultur yang belum hilang-hilang, walau sudah 12 tahun mengabdi, memberi penyuluhan, edukasi, bahwa TBC bukan racun, namun sepertinya hasil usaha ini seakan masih menunggu waktu yang masih lama...
"Rabbighfirli 'ilman, warzudni fahman.."Ya Rab, berikan Aku Ilmu dan pemahaman.."
"Berikan Aku jalan dan solusi..." seuntai do'a ku lafazkan dalam hati...
"Baiklah Pak Ibok...tapi obat luka dalamnya harus dimakan selama 6 bulan lebih, secara terus menerus..tidak boleh putus-putus dan kalau berhenti makan obatnya...lukanya akan susah sekali sembuh.."
Kali ini Aku hanya bisa menarik nafas dengan panjang dan berat dengan senyum yang sangat kupaksakan...semoga Pak Ibok mau menerima alasanku dan semoga dengan penjelasan ini beliau bisa tetap makan obat TB...
Kulihat Pak Ibok mengangguk...pertanda beliau setuju...sebuah perjuangan yang mulai membuahkan hasil.
Seuntai Hamdallah kuucapkan, Puji syukur pada Mu Rab, Semuanya atas petunjuk MU..., semoga suatu saat masyarakat ku ini menjadi mafhum terhadap penyakit menular berbahaya ini, dan semoga kasus TBC di daerah ini semakin lama semakin menurun hendaknya...Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H