[caption id="attachment_310899" align="aligncenter" width="150" caption="Sasakawa Award"][/caption] Penghargaan tersebut adalah wujud pengakuan dunia internasional pada kekuatan budaya smong sebagai sistem peringatan dini tsunami. Budaya smong semakin menemukan pengakuan ditengah kondisi bahwa sebelum tsunami 26 Desember 2004, tidak ada sistem peringatan dini tsunami di sepanjang pantai barat Sumatera yang sangat rawan gempa dan tsunami.
Ditinjau dari sisi linguistik, terbentuknya kata smong cukup dekat dengan bunyi yang mendengung saat ombak menyerang bergulung-gulung. Di masyarakat Simeulue, smong berarti ombak besar yang datang bergulung-gulung yang didahului oleh gempa yang sangat besar. Fenomena yang dikenal masyarakat dunia dengan istilah tsunami. Pemahaman tentang smong ini tertanam kuat dalam memori masyarakat Simeulue dari anak-anak sampai orang tua.
Kuatnya penanaman smong dalam ingatan masyarakat Simeulue menunjukkan bahwa smong telah mengalami proses pengendapan yang lama sehingga lambat laun menjadi memori kolektif dalam bentuk sistem nilai masyarakat. Dalam sistem masyarakat Simeulue, penyampaian sebuah pesan sampai tertanam menjadi memori kolektif masyarakat hanya bisa dilakukan melalui media lisan.
Nandong sebagai sebuah seni tradisi lisan masyarakat Simeulue memegang fungsi penting dalam membangun memori kolektif tersebut. Dengan demikian nandong dalam masyarakat Simeulue tidak hanya menjalankan fungsi klasik pantun atau syair yaitu sebagai media penyampai isyarat, pendidikan, pencatat sejarah dan hiburan. Nandong telah sampai pada fungsi tertinggi budaya lisan yaitu pembangun memori kolektif masyarakat. Fungsi ini yang membuat nandong efektif membangun perilaku masyarakat Simeulue dalam merespon fenomena alam gempa bumi yang diikuti tsunami.
Berikut ini pantun atau syair tentang smong dalam bahasa Simeulue yang disampaikan secara turun temurun dalam menyikapi kewaspadaan dini terhadap kejadian tsunami :
Enggel mon sao curito (dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan (pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano (tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan (begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon (Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali (disusul ombak yang besar sekali)