Sedikit berbeda memang kalau dulu berpusat sekitar keluarga Cendana kemudian menggurita bersama kroni2nya, maka di era reformasi langsung menyebar dari pusat diikuti daerah, dari kelompok eksekutif diikuti oleh kelompok legislatif beramai-ramai merampok APBN dan APBD, sedangan kelompok yudikatif melahirkan mafia hukum yang tak kalah hebatnya.
Kasus2 hukum dimanipulasi masuk ranah politik. Jadilah derita rakyat korban lumpur Lapindo bukan lagi kasus hukum tapi kasus politik, lebih dari 5 tahun tak kunjung tuntas. Kini sedang hangat diberitakan kasus dugaan suap yang melibatkan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam ditengarai turut menyeret Partai Demokrat.
M Nazarudin Bendahara Umum Partai Demokrat diwartakan berada di belakang transaksi success fee proyek wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang, menyusul berita anggota DPR dari fraksi PKS yang "tertangkap kamera" sedang membuka video porno saat sidang Paripurna DPR tengah berlangsung.
Kebebasan diklaim sebagai keberhasilan dan kemenangan demokrasi, sekali lagi harus dibayar amat mahal oleh bangsa Indonesia. Kerukunan hidup umat beragama terusik lantaran pemahaman demokrasi cuma sebatas : mayoritas dan suara terbanyak memenangkan segalanya, sedangkan minoritas dan suara sedikit harus kalah dan tanpa boleh "bersuara" lagi. Pemahaman seperti ini yang menjadi mazhab demokrasi Indonesia, sehingga boleh jadi ada warga negara yang terusir dari kampung halamannya oleh bangsanya sendiri karena berbeda faham, banyak rumah ibadah agama yang resmi diakui negara, dirusak dan atau dilarang dibangun oleh bangsanya sendiri bahkan karena umatnya sedikit mereka dipersulit menjalankan ibadah. Kekerasan yang mengatas namakan agama kerap dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan tanpa ada tindakan yang berarti oleh negara untuk melindungi warga negaranya. Korban jiwa terus berjatuhan, teror susul menyusul menjadi hantu yang menakutkan karena bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, tanpa bisa ditangkal apalagi dideteksi dan yang menyedihkan korbannya adalah bangsa sendiri.
Manakah alam syurgawi yang menjadi harapan bangsa Indonesia ketika dengan gegap-gempita dan suka ria yang meluap-luap menyambut "jatuhnya" Suharto 13 tahun yang silam ?
Gerakan Reformasi yang katanya akan merubah keburukan, penyimpangan bahkan kejahatan yang dilakukan Orde Baru, untuk menjadi Indonesia Baru, setelah 13 tahun berlalu tanpa hasil yang memuaskan.
Jangan salahkan bila kini rakyat Indonesia "merindukan" jaman keemasan swa-sembada pangan, merindukan stabilitas politik dan merindukan kerukunan hidup sesama anak bangsa.
Tak perlu menyangkal apalagi berdalih bahwa reformasi masih berjalan dan membutuhkan waktu untuk berproses. Perlu diketahui tak seluruh rakyat Indonesia dapat dibodohi begitu saja oleh para elitnya. Kebohongan yang terkuak, selalu diikuti oleh kebohongan berikutnya.
Lihat dialam terbuka yang terang benderang Partai yang berkuasa berusaha sekuat tenaga membela diri sebagai Partai yang tak bersalah, ketika kader partainya terberitakan melakukan korupsi, demikian juga halnya Partai yang mengaku berazaskan agama lebih memilih "cuci-tangan" ketika kadernya ketahuan berpornoria saat sidang paripurna sedang belangsung di gedung DPR yang terhormat.
Masihkah akan terus rakyat Indonesia rela dilecehkan terang-terangan oleh para bandit politik dan para petualang yang dengan amat cerdik melekat bagai benalu di Lembaga Pemerintahan Pusat sampai Daerah di Republik ini ?
Adalah pertanyaan : "Apa yang sudah dicapai sehingga bisa dirasakan langsung sebagai kebahagiaan oleh rakyat Indonesia setelah 13 tahun Reformasi ?"