dua puluh tahun yang lalu, gigiku berbaris utuh bagai tombak runcing. separuhnya merupa alat penumbuk padi; alu. apapun yang kusodorkan ke mulut, niscaya tercabik-cabik dan hancur seketika
kini, gigiku mulai kalah, satu persatu berlobang dan raib dikunyah masa. perlahan kenikmatan seolah dicabut. gigiku pun mulai manja, bagai terserang penyakit nepotisme alias pilih-pilih makanan
dan malangnya, gigiku belum mampu menyadarkan hasrat. hasratlah yang menyiksa, ia kerap menggebu-gebu ingin melahap apa saja di saat gigi sudah tak berdaya lagi
(catatan langit, 22 juni 2019)
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!