Entah sejak kapan, muncul sampah-sampah kering di kepalamu. Dari tebaran kata-katamu, malah sampah-sampah itu menjelma menjadi belati, silet, juga badik berkarat.
Hingga di penghujung petang ini, mulutmu terus cerocos di kursi lapuk sembari menerbangkan semuanya ke dadaku, bagai ditikam dan disayat.
Kau memaki pilihan politikku, sementara aku tak pernah mengusik sepatah kata pun tentang pilihan politikmu. Kau gunakan dalil agama pula. Pun dalil sosiologis.
Hai kawan, sudah sepuluh tahun kita bersama, susah senang kita lalui. Hanya karena beda pilihan, kau akan membenciku, memutus tali perkawanan kita?
Pungut sampah-sampah itu di kepalamu. Buang atau bakarlah. Jangan biarkan menudungi alam pikiranmu. Sekarang juga! jangan tunggu ia berceceran ke bilik hatimu.
(Catatan langit, 9 April 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H