Mohon tunggu...
Arman Sagan
Arman Sagan Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pengamat Kehidupan, Abdi Negara, Petugas Pemasyarakatan

Karena ku ingin menulis maka aku menyimpan kata, menaruhnya rapih di almari benak, tuk kelak menumpahkannya lewat aksara yang berbaris, ber'shaf, berlapis, dan kuharap bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Niat Mulia atau Ketakutan Penguasa Media?

5 September 2020   00:01 Diperbarui: 6 September 2020   09:24 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pekan kemarin media sosial sempat diramaikan oleh berita tentang Uji Materi terhadap UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dimohonkan oleh PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).

Para Pemohon melakukan pengujian materiil terhadap satu ketentuan dalam UU Penyiaran yaitu Pasal 1 angka 2, yang menyebutkan bahwa "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran".

Menurut Para Pemohon ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.

Permohonan Uji Materi ini mencuat ke permukaan dan mendapatkan perhatian publik, setelah sidang sampai pada agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah yang digelar pada Rabu (26/8/2020).

Dalam keterangannya perwakilan Pemerintah Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli, menerangkan dampak apabila uji materi ini dikabulkan

"Bila gugatan dikabulkan MK, maka masyarakat tidak lagi bebas memanfaatkan fitur siaran dalam platform media sosial. Sebab, siaran hanya boleh dilakukan oleh lembaga penyiaran yang berizin"

Dengan kata lain bila gugatan ini dikabulkan maka siaran langsung dari Youtube, Instagram, Facebook dan media sosial lainnya tidak bisa dilakukan secara bebas karena harus mendapatkan izin terlebih dahulu, hal ini dianggap sebagai pemasungan kebebasan berekspresi dan menghambat kreativitas masyarakat dalam berkarya di media sosial

Pundi-Pundi Uang Internet

Tidak bisa dipungkiri perkembangan teknologi telah membawa dampak yang sangat luar biasa dalam pola kehidupan masyarakat. Internet telah melahirkan berbagai platform Media Sosial yang tidak hanya digunakan untuk mempermudah komunikasi dan penyebaran informasi tetapi juga digunakan sebagai media untuk mendapatkan penghasilan dari segi ekonomi.

Sebagai contoh Youtube telah menjadi lumbung uang bagi banyak penggunanya atau Youtuber. Para konten kreator dengan segala macam video yang diunggahnya bisa mendapatkan penghasilan dari rentang jutaan sampai dengan puluhan milyar, yang bersumber dari jumlah viewer, adsense, maupun review produk bekerja sama dengan brand tertentu.

Instagram yang awalnya hanya menyuguhkan konten foto, kini telah melahirkan selebgram-selebgram dengan jutaan follower yang bisa mendapatkan uang dari endorsement dan review produk. Menurut pengakuan salah satu selebritis ternama di Indonesia, ia bisa mendapatkan paid promote sekitar Rp 20 juta sampai 27 juta per hari, yang berasal dari Rp 40 - Rp 60 juta dari Instagram Foto dalam jangka waktu 1 bulan, dan Rp 60 juta hingga Rp 85 juta dari Instagram video yakni Rp 60 juta hingga Rp 85 juta berjangka untuk 3 bulan. Bahkan dari Instagram live ia bisa meraup sampai Rp 100 juta hingga Rp 175 juta hanya untuk durasi per 10 menit.

Fakta yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan internet mulai menggeser media siaran konvensional seperti televisi. Masyarakat modern setiap harinya menghabiskan sekitar 6 jam 43 menit mengakses internet, dengan menghitung rata-rata jam tidur dan jam kerja seseorang, maka bisa dikatakan waktu yang digunakan untuk menonton televisi telah jauh berkurang. Walaupun berdasarkan laporan We Are Social, 3 jam 18 menit dari internet yang diakses tersebut digunakan untuk menyaksikan televisi dalam bentuk streaming online atau video on demand, namun pola menonton Televisi telah berubah.

Seperti diketahui pasar siaran televisi, merupakan pasar oligopoli yang didominasi oleh beberapa stasiun televisi swasta, trend televisi lokal yang sempat mengemuka beberapa tahun silam, segera meredup karena gagal bersaing dengan televisi nasional. Penyiaran nasional yang membutuhkan biaya besar membuat beberapa stasiun televisi baru tidak sanggup bertahan dan akhirnya gulung tikar atau melebur ke dalam grup media besar.

Namun dengan berkembangnya Youtube, setiap orang dapat mengunggah konten apapun dengan mudah dan biaya murah, cukup dengan perangkat smartphone dan audio sederhana seseorang bisa mendapatkan viewer yang banyak dan merebut sebagian jatah iklan yang biasanya dikuasai sepenuhnya oleh televisi konvensional. Fakta ini jelas menjadi ancaman bagi stasiun televisi besar seperti RCTI yang telah puluhan tahun menguasai media televisi dengan segala hegemoninya.

Internet dan Konten Tak Berfaedah

Berkembangnya media sosial tidak hanya membawa dampak positif. Beredarnya konten-konten berisi prank (lelucon) yang tidak senonoh, konten kekerasan, konten pornografi dan banyak konten-konten lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan kesusilaan yang berlaku di masyarakat membuat beberapa kalangan merasa resah dengan dampak buruk platform digital tersebut.

Selain itu belum adanya aturan yang jelas terkait penyiaran berbasis internet dapat menimbulkan ketidak pastian hukum bagi insan kreatif yang aktif di dunia maya, termasuk di antaranya proporsi pendapatan yang diterima oleh para pembuat konten.

Rambu-rambu penggunaan internet telah termaktub sebagian dalam Undang-Undang no. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, beberapa orang telah menjadi korban penerapan pasal ini termasuk diantaranya musisi sekaligus politisi Ahmad Dhani dan terakhir yang paling santer adalah drummer Superman is Dead Jerinx. 

Namun penerapan ketentuan ini terkesan tebang pilih, sentimen politik, agama bahkan ekonomi kadang menjadi alasan kuat seorang didakwa dengan pasal ini, sebagai contoh dalam kasus Prita Mulyasari, ketentuan ini malah dijadikan alasan untuk membungkam kritik terhadap koorporasi. 

UU ITE memang tidak mengatur tentang aspek etika dalam penggunaan dunia maya, ketentuan ini ditujukan untuk memberikan keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan Teknologi Informasi, berbeda dengan UU Penyiaran yang dengan tegas mengatakan bahwa penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa yang berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. 

Hal ini didasarkan oleh fakta bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan bebas, dianggap memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak.

Kalimat terakhir pada paragraf di atas memiliki relasi yang sangat kuat dengan penggunaan internet. Kemudahan untuk mengakses internet bagi semua kalangan membuat ia bisa dikatakan menjadi sumber utama informasi bagi masyarakat modern khususnya di kota-kota besar yang sebagian besar warganya disibukkan dengan pekerjaan, sekolah, hang out dan kegiatan-kegiatan lain yang umumnya dilakukan di luar rumah.

Beredarnya hoaks secara cepat dan masif menjadi salah satu indikasi betapa mudahnya massa menyerap informasi dari unggahan media sosial dan menyebarkannya karena menganggap itu sebagai kebenaran. 

Hal ini diperparah oleh situs-situs berita yang banyak mengambil data dari berita online lain, atau sumber yang tidak jelas dengan judul provokatif dan isi artikel yang kadang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik

Dalam perkembangannya internet khususnya media sosial tidak hanya berperan sebagai sumber informasi tetapi juga untuk membentuk persepsi masyarakat. 

Kita sering melihat bagaimana seseorang atau suatu opini yang diunggah mendapat serangan dari berbagai pihak atau malah sebaliknya mendapat dukungan dan dianggap sebagai sebuah manifestasi kebenaran, padahal informasi tersebut belum valid atau malah di kemudian hari terbukti salah. 

Kasus Ratna Sarumpaet menjadi salah satu contohnya, namun bahkan pada saat infonya terbukti tidak benar, opini publik sudah terlanjur terbentuk, dan seringkali publik memiliki mekanisme pertahanannya sendiri sehingga bahkan pada posisi keliru sekalipun ia akan bermanuver sedemikian rupa untuk mempertahankan keyakinan atau opininya.

Fakta di atas menunjukkan bahwa internet memiliki pengaruh yang sama --atau bahkan lebih besar- dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak dibandingkan siaran televisi. Maka memang kebutuhan akan kode etik penggunaan internet menjadi penting, guna mencegah timbulnya dampak sosial yang buruk di kemudian hari.

RCTI dan Inews sebagai dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa tujuan permohonan uji materi UU Penyiaran bukan untuk membatasi kebebasan masyarakat dalam mengakses media sosial, justru sebaliknya permohonan ini merupakan upaya untuk menyetarakan perlakuan dan perlindungan antara masyarakat dengan youtuber maupun selebgram, sekaligus mendorong para konten kreator ini untuk tumbuh, meningkatkan kesejahteraan mereka dan berkembang dalam tataran kekinian. Bahkan mereka menambahkan bahwa uji materi ini perlu demi kesetaraan dan tanggung jawab moral pelaku penyiaran.

Niat ini tampak mulia ditambah embel-embel penyelamatan moral bangsa, namun terkesan kontradiktif mengingat sebagian tayangan televisi termasuk RCTI tidak memberikan kontribusi positif dalam perkembangan moral bangsa. 

Sinetron yang acap kali menampilkan kemewahan, dan tingkah laku yang kadang tidak realistis, variety show yang hanya menayangkan hedonisme dan komedi slapstick atau olok-olok yang jauh dari sifat mendidik hingga mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia menunjukkan bahwa stasiun televisi swasta tidak melaksanakan tugasnya dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa.

Internet Baik, Pengguna Baik

Uraian di atas tidak dapat secara gamblang memutuskan apakah Uji Materi terhadap UU Penyiaran ini sebuah niat Mulia atau sebaliknya upaya untuk menjatuhkan para konten kreator sebagai wujud perlawanan berdasarkan atas ketakutan Raja Media Televisi akan melemahnya pengaruh televisi di masyarakat modern. 

Namun bisa dikatakan tudingan miring terhadap permohonan dua stasiun televisi nasional -yang notabene berada dalam naungan salah satu grup media raksasa di Indonesia- ini, cukup beralasan meskipun kita tidak bisa menihilkan manfaat dari uji materi ini. Setidaknya ini berhasil mengusik benak kita akan masalah penyiaran di Indonesia khususnya yang terkait Internet dan media sosial.

Terlepas dari agenda apapun yang dibawa oleh RCTI dan Inews dalam permohonan Uji Materi UU penyiaran, kita sepakat bahwa tayangan yang disuguhkan di dunia maya tidak hadir tanpa masalah.

Hoaks, prank, dan konten-konten tak berfaedah lainnya berseliweran bebas di dunia maya dengan dalih kebebasan berekspresi. Menempatkan beban menjaga moralitas dan sopan santun kepada 4,5 milyar pengguna internet di seluruh dunia merupakan tugas yang sulit. Ragam latar belakang pendidikan, politik, ekonomi, agama, sosial dan budaya membuat tugas ini hampir bisa dikatakan mustahil dilakukan.

Dalam film berbahasa Tibet The Cup seorang biksu mengatakan "kita tidak bisa menutupi seluruh permukaan bumi dengan karpet agar terasa lembut di kaki, tapi kita bisa memakai sandal".

Pepatah sederhana ini bisa menjadi solusi krisis kemaslahatan konten internet. Mengubah perilaku dan cara pandang penduduk dunia dalam menggunakan Internet, adalah misi yang mustahil, tapi merubah perilaku dan cara pandang diri kita sendiri adalah pilihan yang lebih masuk akal. 

Penggunaan internet secara sehat, bisa dimulai dari diri sendiri, menebar postingan atau unggahan yang positif dan bermanfaat, tidak menanggapi atau menyaksikan konten yang tidak berfaedah atau bahkan unfollow atau melaporkan akun/user yang bermasalah dapat menjadi cambuk bagi insan kreatif dunia maya untuk meningkatkan kualitas unggahan dari segi isi.

Kemampuan berpikir kritis dalam menanggapi suatu konten dan menyebarkannya ke media sosial merupakan suatu kualitas yang seharusnya dimiliki seluruh pengguna. Sehingga penyebaran berita bohong bisa ditekan, bahkan pada titik tertentu bisa sepenuhnya hilang bila sudah tidak ada lagi pengguna yang mau mengakses situs atau akun media sosial yang menyebarkannya.

Kebiasaan baik ini dapat menular dan bila mencapai jumlah tertentu dapat membentuk mekanisme penyaringan konten yang efektif tanpa harus dikawal dengan aturan-aturan baku.

Perubahan pola penyebaran informasi dan interaksi dari cara konvensional, ke cara modern melalui media teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dunia, akses pendidikan dan pengetahuan yang lebih mudah dan murah, kemudahan dan kecepatan dalam berkomunikasi, serta peran media sosial dalam berbagi ide dan inspirasi menjadi kunci kemajuan peradaban tidak hanya untuk suatu kelompok atau suku bangsa tertentu namun bagi seluruh penduduk dunia. Sebuah mimpi indah yang menungu menjadi kenyataan

Cianjur, 04 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun