Kalimat terakhir pada paragraf di atas memiliki relasi yang sangat kuat dengan penggunaan internet. Kemudahan untuk mengakses internet bagi semua kalangan membuat ia bisa dikatakan menjadi sumber utama informasi bagi masyarakat modern khususnya di kota-kota besar yang sebagian besar warganya disibukkan dengan pekerjaan, sekolah, hang out dan kegiatan-kegiatan lain yang umumnya dilakukan di luar rumah.
Beredarnya hoaks secara cepat dan masif menjadi salah satu indikasi betapa mudahnya massa menyerap informasi dari unggahan media sosial dan menyebarkannya karena menganggap itu sebagai kebenaran.Â
Hal ini diperparah oleh situs-situs berita yang banyak mengambil data dari berita online lain, atau sumber yang tidak jelas dengan judul provokatif dan isi artikel yang kadang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik
Dalam perkembangannya internet khususnya media sosial tidak hanya berperan sebagai sumber informasi tetapi juga untuk membentuk persepsi masyarakat.Â
Kita sering melihat bagaimana seseorang atau suatu opini yang diunggah mendapat serangan dari berbagai pihak atau malah sebaliknya mendapat dukungan dan dianggap sebagai sebuah manifestasi kebenaran, padahal informasi tersebut belum valid atau malah di kemudian hari terbukti salah.Â
Kasus Ratna Sarumpaet menjadi salah satu contohnya, namun bahkan pada saat infonya terbukti tidak benar, opini publik sudah terlanjur terbentuk, dan seringkali publik memiliki mekanisme pertahanannya sendiri sehingga bahkan pada posisi keliru sekalipun ia akan bermanuver sedemikian rupa untuk mempertahankan keyakinan atau opininya.
Fakta di atas menunjukkan bahwa internet memiliki pengaruh yang sama --atau bahkan lebih besar- dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak dibandingkan siaran televisi. Maka memang kebutuhan akan kode etik penggunaan internet menjadi penting, guna mencegah timbulnya dampak sosial yang buruk di kemudian hari.
RCTI dan Inews sebagai dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa tujuan permohonan uji materi UU Penyiaran bukan untuk membatasi kebebasan masyarakat dalam mengakses media sosial, justru sebaliknya permohonan ini merupakan upaya untuk menyetarakan perlakuan dan perlindungan antara masyarakat dengan youtuber maupun selebgram, sekaligus mendorong para konten kreator ini untuk tumbuh, meningkatkan kesejahteraan mereka dan berkembang dalam tataran kekinian. Bahkan mereka menambahkan bahwa uji materi ini perlu demi kesetaraan dan tanggung jawab moral pelaku penyiaran.
Niat ini tampak mulia ditambah embel-embel penyelamatan moral bangsa, namun terkesan kontradiktif mengingat sebagian tayangan televisi termasuk RCTI tidak memberikan kontribusi positif dalam perkembangan moral bangsa.Â
Sinetron yang acap kali menampilkan kemewahan, dan tingkah laku yang kadang tidak realistis, variety show yang hanya menayangkan hedonisme dan komedi slapstick atau olok-olok yang jauh dari sifat mendidik hingga mendapat teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia menunjukkan bahwa stasiun televisi swasta tidak melaksanakan tugasnya dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa.
Internet Baik, Pengguna Baik