Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Satu Hari bersama Papa, Melihat Miniatur Hidup di Fasilitas Kesehatan

24 Desember 2024   13:36 Diperbarui: 26 Desember 2024   14:18 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini (24/12/2024) adalah yang kesekian kalinya saya menemani papa bolak-balik ke fasilitas kesehatan tingkat satu dan tingkat selanjutnya sesuai rujukan dokter.

Sejak papa didiagnosis mengalami fungsi jantung yang kurang baik, mulai dari bulan januari 2024 saya selalu berusaha hadir menemaninya berobat. Pasien jantung diharuskan satu bulan sekali memeriksakan kesehatannya.

Alasan yang membuat saya menyediakan waktu untuk menemani papa berobat adalah sebagai penebusan rasa bersalah saya atas sikap-sikap saya pada masa lampau, juga sebagai bentuk nyata bahwa betapa saya mencintai papa dan mama meski tak pernah mengucapkannya. Hanya lewat tulisan seperti inilah saya bisa mengekspresikan perasaan.

Papa tak seperti dulu: seorang pekerja keras yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Sekarang, bahkan, untuk mengantri saat mendaftar berobat saja nafasnya sudah terengah-engah.

Ada suatu pemandangan lazim yang sering saya dapati ketika menemani papa berobat, yaitu sebagian orang-orang tua yang datang berobat sendirian terkadang sering bingung harus melakukan apa ketika sampai di fasilitas kesehatan.

Mereka ke sana-sini mencari info untuk mengantri. Uniknya setelah dapat nomor antrian, beberapa di antaranya malah tak menghampiri loket atau ruangan bagian kesehatan saat dipanggil namanya. Sepertinya karena fungsi indra pendengaran yang berkurang, masih bingung, dan lain-lain.

Pemandangan itu membuat saya tak tega sebenarnya. Namun karena saya harus mengurus papa, saya tak bisa berbuat banyak.

Perkara semacam itu pula yang membuat saya bertekad tak akan membiarkan papa saya datang berobat seorang diri.

Banyak pelajaran yang bisa saya ambil ketika berada di fasilitas kesehatan tersebut. Bisa dibilang saya melihat "hidup" dalam bentuk miniatur.

Mungkin tak bisa dibilang mewakili seluruh apa yang disebut "hidup", tetapi sebagiannya dapat dilihat di tempat itu.

Ketika saya menemani papa di ruang tunggu pasien, muncul seorang wanita yang saya perkirakan umurnya 46 tahun. Wajahnya ramah dan jernih. Ia menjajakan air mineral, makanan ringan, dan sejenisnya. Perempuan tersebut mengenakan kerudung ungu muda, jaket putih, dan celana panjang hitam.

Kami sempat saling pandang. Tatapannya seakan bertanya: "Beli?"

Namun sepertinya ia paham ketika melihat sorot mata saya yang menyiratkan "maaf, saya sudah makan".

Tawar menawar di antara kami selesai tanpa perlu berkata-kata, ia pun berlalu dan menghampiri pengunjung lain tanpa rasa gengsi.

Bagi orang lain mungkin dia hanya pedagang biasa. Tapi buat saya dia adalah pejuang bagi keluarganya. Orang yang sudah tak gengsi menawarkan barang jualannya di tempat seperti itu, menurut perspektif saya, adalah orang yang sudah berdamai dengan keadaan, salah satu ciri manusia yang kuat tekadnya.

Di depan ruang kesehatan gigi, saya mendapati seorang ibu. Sejak datang, ia selalu mengoceh entah apa. Menurut pandangan saya, ia juga sok akrab dengan para staf di sana. Mungkin sebagian orang menyebutnya "ramah", tapi saya menyebutnya "ribut".

Woi! Ini banyak orang sakit! Kalau mau bergosip silakan kembali ke gang atau kompleks perumahan masing-masing!

Orang-orang di sebelahnya juga tampak jengkel meski mulutnya terkatup, tapi mata tiada mampu berbohong.

Lebih unik lagi adalah pemandangan orang-orang (bukan pasien) yang duduk memenuhi kursi tunggu, sementara pasien sebenarnya tampak lelah berdiri. Secara pribadi, saya benar-benar jengkel.

Anda itu kan sehat. Coba beri kesempatan orang-orang tua yang sakit itu untuk duduk. Anda malah asyik main game online!

Lihat? Barangkali fenomena-fenomena hidup seperti kisah tersebut pernah terjadi di suatu tempat lain.

Kunci menghadapinya pun hanya satu: sabar.

Saya bukan orang suci juga, kadang-kadang saya pun mengumpat. Tapi dalam hati tentu saja. Kesal soalnya, harap maklum.

Saya mendoakan ayah-ibu para pembaca tulisan ini sehat selalu. Namun apabila suatu hari mereka sakit, kalau bisa ... kalau bisa ... temanilah mereka. Coba ingat masa kita kecil dulu. Merekalah yang mendaftarkan kita berobat, menunggui, merawat, dan sebagainya.

Bagi saudara-saudara saya yang beragama Islam, mari kita sama-sama renungkan firman Allah subhanahu wa ta'alaa berikut ini (Al-Qur'an, surah Al-Ankabut, ayat 8): "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu."

Kita yang berada pada fase "umur produktif" tak mudah dalam meninggalkan aktivitas kerja. Bahkan untuk sekadar mendapatkan izin keluar sebentar dari kantor untuk menemani orang tua belum tentu bisa (kecuali pekerja lapangan, ini masih mungkin).

Saya mendoakan teman-teman, rekan sekalian mendapatkan kemudahan dalam berbakti kepada orang tua. Berbuat baik kepada orang tua tidak mesti hanya menemani berobat. Masih banyak cara lain. Saya hanya menyebutkan satu di antaranya saja.

Kalau kita sudah banyak kalah di dunia, maka jangan sampai kalah untuk urusan akhirat. Berbakti dan berbuat baik kepada orang tua adalah satu dari sekian banyak cara untuk meraih ridho-Nya.

Stay strong, Brothers and Sisters!

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun