Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Slow Living Hanyalah Mimpi bagi Kaum Marginal

20 Desember 2024   11:06 Diperbarui: 20 Desember 2024   11:06 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedu Raya, Tasikmalaya Raya, Banyumas Raya, Malang Raya, dan Kedungsepur dinilai baik untuk memulai gaya hidup yang dimaksud.

Saya punya perspektif sendiri soal slow living. Sama seperti frugal living yang dalam pandangan saya sebenarnya hanya bisa dilakukan oleh lapisan masyarakat tertentu. Karya tulis saya tentang frugal living bisa cek di sini.

Dalam logika saya, gaya hidup slow living hanya bisa dilakukan jika seseorang telah stabil keadaan perekonomiannya.

Saya pikir, seseorang dengan pendapatan kurang dari Rp90.000 per hari akan sangat sulit menunaikannya. Bahkan di dunia modern ini, dengan kenaikan pajak dan biaya lain, seseorang dengan penghasilan Rp150.000 per hari pun tak akan mudah menerapkannya.

Kebutuhan hidup dan pemenuhan akan hal itu akan secara otomatis membuat seseorang, mau tak mau, ingin mengalahkan denyut "argometer" hidupnya supaya bisa menabung dan berinvestasi demi keluarga tercinta.

Gaya hidup slow living adalah mimpi belaka untuk masyarakat marginal. Mereka tak dapat hidup dalam tempo yang lambat dikarenakan debar jantung mereka yang cepat akibat ketidakadilan, harapan yang pupus, dan dapur yang hampir tak ngebul.

Jadi, jika kita kembali ke definisi slow living di mana konsepnya mengerjakan dan memproritaskan apa yang berharga dalam hidup, maka apa yang berharga untuk saudara-saudara kita yang kurang beruntung adalah agar bisa bertahan hidup itu sendiri. Caranya? Ya, banting tulang, dan yang namanya banting tulang itu tak mungkin "slow".

Pada akhirnya, dalam perspektif saya, apa yang disebut slow living itu sama sekali tidak bersandar pada lokasi (kota dan sebagainya), pola pikir, prioritas, dan semisalnya. Ia tergantung pada ketebalan dompet masing-masing individu. Semakin tebal dompet Anda, semakin Anda bisa merencanakan hal-hal lain.

Kalau dompet tipis, maka yang Anda rencanakan pastilah menebalkan dompet. Semua terjadi secara alami dan otomatis sesuai keadaan.

Bahkan di Kota Pontianak yang tak termasuk dalam kota yang baik untuk memulai slow living, Anda tetap bisa menerapkannya selama memiliki finansial yang kuat.

Tapi di sini saya tak bermaksud mengajak siapa pun yang membaca tulisan ini untuk selalu mengejar dunia, karena bagi kita yang beragama Islam, harta merupakan sarana saja demi mendapatkan surga-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun