Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Slow Living Hanyalah Mimpi bagi Kaum Marginal

20 Desember 2024   11:06 Diperbarui: 20 Desember 2024   11:06 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bermimpi | Sumber Gambar: Pixabay.com

Saya mengenal seorang pria, orang-orang dekat sering menyebutnya Haji Raj (bukan nama asli). Dulunya dia bekerja pada bidang pembangunan jalan dan jembatan di Kalimantan Barat.

Kalau pagi-pagi saya lewat di depan rumahnya, biasanya Haji Raj sedang duduk santai sambil membaca surat kabar cetak. Kadangkala ia juga terlihat sedang memperhatikan tanaman anggur miliknya yang tak kunjung muncul buah.

Haji Raj merupakan satu dari sejumlah kepala keluarga yang telah pensiun di suatu kompleks perumahan di Kota Pontianak.

Nyaris semua kepala keluarga di kompleks tersebut bekerja pada instansi yang sama. Nama lokasi tempat mereka tinggal juga mencerminkan nama kantor. Saya dan kakak merupakan generasi kedua yang dulu sempat menjadi warga (saya sekarang pindah rumah karena telah berkeluarga). Haji Raj, papa saya, dan rekan mereka yang lain adalah generasi pertama yang tinggal di situ.

Entah para generasi baby boomers yang saya kenal mengenal konsep slow living atau tidak. Faktanya mereka telah melakukannya sejak hari pertama pensiun.

Saya amati baik-baik. Mereka semua punya satu persamaan: stabil secara finansial saat masa pensiun menghampiri.

Mungkin itu merupakan suatu sebab sebagian orang tua, di Kalimantan Barat, menyuruh anak-anaknya menjadi orang yang masa pensiunnya masih dibayar oleh negara.

Dalam artikel "Mengenal Apa Itu Konsep Gaya Hidup 'Slow Living'" (kompas.com, 19/07/2023), dijelaskan bahwa slow living adalah konsep pola pikir milik seseorang yang menyusun gaya hidup yang lebih bermakna dan menyesuaikan dengan apa yang paling dia anggap berharga dalam hidup.

Berikut saya uraikan cara-cara memulai slow living seperti yang tersurat dalam artikel tersebut:

  • Batasi waktu menggunakan media sosial, TV, dan komputer
  • Jalan-jalan di luar ruangan dan olahraga santai
  • Beristirahat di akhir pekan atau saat liburan
  • Masak dan makan bersama keluarga atau teman
  • Menikmati dan mengembangkan hobi
  • Tidur adalah prioritas
  • Melakukan aktivitas yang ingin dilakukan
  • Berkomunikasi dengan tetangga dan membangun komunitas

Kemudian ada pula kota-kota yang dianalisis baik untuk menerapkan gaya hidup slow living, hal itu tercantum dalam artikel "Bukan Jogja atau Solo, Ini Kota Terbaik di Indonesia untuk 'Slow Living' atau Gaya Hidup Santai" (kompas.com, 11/12/2024).

Kedu Raya, Tasikmalaya Raya, Banyumas Raya, Malang Raya, dan Kedungsepur dinilai baik untuk memulai gaya hidup yang dimaksud.

Saya punya perspektif sendiri soal slow living. Sama seperti frugal living yang dalam pandangan saya sebenarnya hanya bisa dilakukan oleh lapisan masyarakat tertentu. Karya tulis saya tentang frugal living bisa cek di sini.

Dalam logika saya, gaya hidup slow living hanya bisa dilakukan jika seseorang telah stabil keadaan perekonomiannya.

Saya pikir, seseorang dengan pendapatan kurang dari Rp90.000 per hari akan sangat sulit menunaikannya. Bahkan di dunia modern ini, dengan kenaikan pajak dan biaya lain, seseorang dengan penghasilan Rp150.000 per hari pun tak akan mudah menerapkannya.

Kebutuhan hidup dan pemenuhan akan hal itu akan secara otomatis membuat seseorang, mau tak mau, ingin mengalahkan denyut "argometer" hidupnya supaya bisa menabung dan berinvestasi demi keluarga tercinta.

Gaya hidup slow living adalah mimpi belaka untuk masyarakat marginal. Mereka tak dapat hidup dalam tempo yang lambat dikarenakan debar jantung mereka yang cepat akibat ketidakadilan, harapan yang pupus, dan dapur yang hampir tak ngebul.

Jadi, jika kita kembali ke definisi slow living di mana konsepnya mengerjakan dan memproritaskan apa yang berharga dalam hidup, maka apa yang berharga untuk saudara-saudara kita yang kurang beruntung adalah agar bisa bertahan hidup itu sendiri. Caranya? Ya, banting tulang, dan yang namanya banting tulang itu tak mungkin "slow".

Pada akhirnya, dalam perspektif saya, apa yang disebut slow living itu sama sekali tidak bersandar pada lokasi (kota dan sebagainya), pola pikir, prioritas, dan semisalnya. Ia tergantung pada ketebalan dompet masing-masing individu. Semakin tebal dompet Anda, semakin Anda bisa merencanakan hal-hal lain.

Kalau dompet tipis, maka yang Anda rencanakan pastilah menebalkan dompet. Semua terjadi secara alami dan otomatis sesuai keadaan.

Bahkan di Kota Pontianak yang tak termasuk dalam kota yang baik untuk memulai slow living, Anda tetap bisa menerapkannya selama memiliki finansial yang kuat.

Tapi di sini saya tak bermaksud mengajak siapa pun yang membaca tulisan ini untuk selalu mengejar dunia, karena bagi kita yang beragama Islam, harta merupakan sarana saja demi mendapatkan surga-Nya.

Saya ingin mengutip kalimat yang berasal dari Ustaz Adi Hidayat: "Rezeki itu sudah diatur, tidak perlu khawatir. Yang perlu kita kejar adalah surga, karena itu yang belum pasti."

Lagi pula rezeki tak melulu soal harta. Kesehatan adalah rezeki, keturunan yang saleh juga rezeki, ridho Allah juga merupakan rezeki yang amat besar.

Saya ingin menyampaikan kepada saudara-saudara yang beragama Islam agar kita memperkuat ikatan sesama muslim dan bersama-sama menuju surganya Allah subhanahu wa ta'alaa.

Apakah seorang muslim boleh slow living? 

Tentu saja boleh kalau keadaannya memungkinkan. Tapi kalau soal ibadah dan berdoa tak boleh slow. Harus strong!

Semoga Allah subhanahu wa ta'alaa memberikan kebaikan bagi masyarakat Indonesia. Aaaammin!

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun