Zaman saya masih TK, sudah lama sekali itu, sudah ada yang namanya perundung. Anak ini namanya "X", kurus berkulit putih. Dia suka menendang anak-anak lain di dekatnya termasuk saya. Intinya habislah satu kelas dikerjainya. Karena masih kecil sekali, saya belum paham apa yang harus dilakukan selain mengadu ke orang tua.
Masuk ke SD, tetap masih ada juga yang namanya perundung. Jumlahnya lebih banyak karena mereka bikin grup, bukan boyband karena mereka jelek. Ketika itu saya sudah bisa melawan. Saya pukul salah satu perundung dengan kursi.
Setelah insiden itu, mereka tidak mau lagi cari masalah dengan saya. Maka, menurut saya, perlawanan adalah satu dari sekian banyak solusi untuk memerangi kekerasan di sekolah antar murid. Masalahnya, tidak semua orang mampu hal yang sama. Keadaan fisik kita berbeda satu sama lain.
Saya mengutip dari artikel "Data Statistik Kasus Perundungan di Sekolah dari 2019-2023" yang ditayangkan oleh Inilah.com, di situ tertulis bahwa dari Januari sampai Agustus 2023 terjadi 16 perundungan di lingkungan sekolah. SD dan SMP menyumbang 25 persen dari total kejadian. SMA dan SMK masing-masing 18,75 persen, sementara itu Madrasah Tsanawiyah dan pondok pesantren tercatat masing-masing 6,25 persen.
Apakah ada solusinya? Jawabannya "ya" dan "tidak" tergantung kesungguhan semua pihak yang terlibat di dalam dunia pendidikan. Jika mereka menganggap remeh kasus perundungan, maka solusi hanyalah mimpi.
Saya punya beberapa gagasan yang barangkali sebenarnya sudah terpikirkan oleh semua orang. Meski begitu, izinkan saya untuk menyampaikannya kepada dunia melalui tulisan. Saya sebut "Rencana A" dan "Rencana B".
Cara melakukan Rencana A adalah dengan mengidentifikasi lokasi-lokasi (lingkungan sekolah) yang berpotensi disalahgunakan oleh oknum murid. Pihak sekolah tidak boleh memberikan "ruang bebas" kecuali mengenai hal-hal tertentu yang disepakati.
Ketika semua lokasi telah dipetakan dengan baik. Maka yang harus dilakukan setelah itu adalah agar pihak sekolah menerapkan sistem patroli keamanan yang dilakukan oleh siapa pun yang bekerja di sana. Jadwalnya dibuat acak sehingga susah ditebak.
Personel yang melakukannya juga diusahakan tidak kurang dari 5 orang, agar bisa berpencar, atau pun berpatroli secara berkelompok. Caranya bebas tergantung situasi yang paling memungkinkan.
Selain memantau keamanan di seluruh lokasi sekolah, cara ini menurut saya berguna mengantisipasi adanya bahaya lain seperti potensi kebakaran, dan sejenisnya. Ide ini muncul karena selama saya bersekolah, seakan-akan semua sudah aman ketika pagar depan sekolah ditutup, padahal kekerasan di sekolah bisa terjadi kapan pun.