Pagi ini saya merasa lumayan lesu. Bisa dibilang kurang bersemangat tanpa alasan yang jelas. Entah kebosanan apa yang sedang saya rasakan.
Seperti hari-hari biasanya, sejak subuh, saya dan istri memulai hari dengan menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah tangga sebelum saya pergi bekerja. Semua keperluan sekolah anak saya pun sudah beres. Baju kemarin yang tadinya kotor sudah tergantung rapi nan wangi di jemuran.
Sepertinya istri saya menyadari kalau ini hari saya banyak termenung. Dia bertanya ada apa. Saya menggeleng saja.
Kalau kata orang-orang, mungkin saya hanya lelah. Tapi tidak pula badan ini merasa letih. Biasa saja, masih sanggup beraktivitas.
Ketika istri sedang menyiapkan sarapan, sekitar pukul setengah enam pagi, saya berusaha merilekskan diri dengan duduk di permukaan sofa ruang tamu. Tak lama, samar-samar terdengar suara anak kecil yang menangis.
Ternyata itu adalah cucu dari seorang nenek yang saya kenal. Anak kecil berkulit putih itu sedang tantrum. Neneknya tampak kewalahan.
Ayah dan ibu dari anak kecil itu merupakan orang-orang yang berpendidikan. Mereka orang baik. Mungkin demi mencari rezeki yang lebih baik, mereka harus menitipkan anaknya kepada orang tua. Pemandangan seperti ini memang lazim muncul di dunia modern.
Inflasi merampok nilai penghasilan kita semua, sehingga para orang tua dari kelas pekerja harus ekstra keras memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kebetulan saya dan istri memang sudah berkomitmen, sesulit apa pun kondisi, kami berusaha untuk tidak menitipkan anak-anak kepada kakek-neneknya kecuali sangat darurat. Hal ini berarti ada lost opportunity secara ekonomi karena istri saya belum menghasilkan uang dari pekerjaan formal (kalau berjualan dari rumah, saya mempersilakan).
Tapi saya akan melakukan disclaimer dulu, ya. Saya tidak bermaksud menyamakan kondisi saya dengan orang lain. Sudah jelas bahwa kondisi ekonomi dan keluarga kita berbeda-beda. Beberapa di antara kita ada yang beruntung, dan yang sebagiannya lagi masih berusaha habis-habisan di luar sana. Hormat saya kepada kalian semua.
Lanjut lagi. Keinginan menitipkan anak-anak ke kakek-nenek sempat terpikirkan oleh saya pada suatu masa. Namun, akhirnya tak saya lakukan setelah membaca jurnal "Dampak Peralihan Peran Orang Tua kepada Kakek Nenek terhadap Kehidupan Sosial Remaja", yang diterbitkan oleh Laboratorium Sosiologi Fisip Universitas Jember.
Dalam jurnal tersebut saya mendapatkan informasi bahwa ketidakhadiran orang tua secara langsung ketika periode tumbuh kembang anak, dapat menyebabkan kondisi anak dan orang tua sulit memahami satu sama lain.
Lebih lanjut, dalam jurnal itu, menyatakan bahwa adanya kekeliruan pada anggapan bahwa ayah-ibu tanggung jawab utamanya adalah memenuhi materi, padahal ada kebutuhan sosial, emosional, dan fisik anak yang juga harus diimbangi.
Kesimpulan dari jurnal tersebut adalah hilangnya fungsi pengasuhan orang tua kandung dan beralih kepada pengasuhan kakek-nenek dapat berdampak negatif pada anak. Pergeseran peran seperti ini menyebabkan tidak terpenuhinya fungsi edukasi, proteksi, afeksi, dan sosialisasi secara optimal.
Setelah membaca dan mencerna cukup lama akhirnya saya dan istri, pada masa itu, memutuskan meski kami belum bisa "lebih" dalam hal materi, tetap akan berusaha secara maksimal mengasuh anak-anak secara mandiri. Benar bahwa kami akan kehilangan kesempatan menambah isi pundi-pundi, namun jika harus menghadapi resiko-resiko seperti yang diterangkan dalam jurnal, maka sesungguhnya potensi kerugian yang dapat kami alami akan jauh lebih besar ketimbang kehilangan kesempatan menambah materi (bekerja dengan menitipkan anak kepada orang lain). Ini hanya perspektif saya, belum tentu benar ... belum tentu salah juga.
Bagi saya, keluarga adalah segalanya, termasuk kesehatan anak-anak. Kalau anak saya sakit yang menular seperti influenza, maka saya tak akan memaksa dia untuk masuk sekolah (anak saya masih kecil, sekolah di TK). Tentu saja, karena menular, penyakit sebaiknya tak boleh diremehkan, harus ditangani dengan cara yang benar.
Mungkin karena saya kurang ilmu pengetahuannya, saya merasa bingung ketika ada orang tua yang tetap menyuruh anaknya masuk sekolah (dalam hal ini TK) ketika sedang sakit yang menular, baik itu penyakit pernafasan, kulit, dan semisalnya. Bukankah anak-anak kita ini adalah sosok yang berharga? Apakah lebih mudah menyerahkannya kepada pihak sekolah saat ia seharusnya beristirahat karena sakit?
Selain kesehatan anak kita sendiri, harus diingat bahwa anak didik yang lain juga berhak sehat atau tidak tertular penyakit dari anak kita. Berdasarkan pengalaman saya, sebagian orang tua tak terlalu ambil peduli soal ini.
Saya punya tebakan soal anak yang sakit dibiarkan masuk sekolah TK oleh orang tuanya. Pertama, jika anak tersebut diserahkan ke sekolah, orang tua bisa lebih leluasa melakukan apa yang mereka mau (bisa santai). Kedua, karena tuntutan finansial, orang tua terpaksa melakukannya dalam rangka mencari rezeki.
Jika ternyata yang terjadi adalah seperti tebakan yang kedua, saya sungguh maklum. Saya pun pernah merasakan betapa sakitnya tak pegang uang. Tapi jika kenyataannya adalah tebakan saya yang pertama, maka saya pikir memang ada sebagian manusia yang tak siap jadi orang tua, ia belum bisa mengalahkan egoisme yang membara di dalam dadanya.
Lama saya merenung setelah melihat kejadian nenek dan cucunya yang melintas di depan rumah saya. Akhirnya saya menyadari, setiap manusia cobaan-nya berbeda. Lelah itu biasa, tapi jangan lupa bangkit lagi. Bersantailah selagi bisa, namun jangan lupa berjuang seperti seharusnya.
Saya tarik nafas dalam-dalam sembari meregangkan tubuh. Perlahan semangat saya kembali meski tidak seluruhnya. Saya sudah siap menjalani hari ini dengan penuh rasa syukur.
----
Dicky Armando, S.E. - Pontianak
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI