Lanjut lagi. Keinginan menitipkan anak-anak ke kakek-nenek sempat terpikirkan oleh saya pada suatu masa. Namun, akhirnya tak saya lakukan setelah membaca jurnal "Dampak Peralihan Peran Orang Tua kepada Kakek Nenek terhadap Kehidupan Sosial Remaja", yang diterbitkan oleh Laboratorium Sosiologi Fisip Universitas Jember.
Dalam jurnal tersebut saya mendapatkan informasi bahwa ketidakhadiran orang tua secara langsung ketika periode tumbuh kembang anak, dapat menyebabkan kondisi anak dan orang tua sulit memahami satu sama lain.
Lebih lanjut, dalam jurnal itu, menyatakan bahwa adanya kekeliruan pada anggapan bahwa ayah-ibu tanggung jawab utamanya adalah memenuhi materi, padahal ada kebutuhan sosial, emosional, dan fisik anak yang juga harus diimbangi.
Kesimpulan dari jurnal tersebut adalah hilangnya fungsi pengasuhan orang tua kandung dan beralih kepada pengasuhan kakek-nenek dapat berdampak negatif pada anak. Pergeseran peran seperti ini menyebabkan tidak terpenuhinya fungsi edukasi, proteksi, afeksi, dan sosialisasi secara optimal.
Setelah membaca dan mencerna cukup lama akhirnya saya dan istri, pada masa itu, memutuskan meski kami belum bisa "lebih" dalam hal materi, tetap akan berusaha secara maksimal mengasuh anak-anak secara mandiri. Benar bahwa kami akan kehilangan kesempatan menambah isi pundi-pundi, namun jika harus menghadapi resiko-resiko seperti yang diterangkan dalam jurnal, maka sesungguhnya potensi kerugian yang dapat kami alami akan jauh lebih besar ketimbang kehilangan kesempatan menambah materi (bekerja dengan menitipkan anak kepada orang lain). Ini hanya perspektif saya, belum tentu benar ... belum tentu salah juga.
Bagi saya, keluarga adalah segalanya, termasuk kesehatan anak-anak. Kalau anak saya sakit yang menular seperti influenza, maka saya tak akan memaksa dia untuk masuk sekolah (anak saya masih kecil, sekolah di TK). Tentu saja, karena menular, penyakit sebaiknya tak boleh diremehkan, harus ditangani dengan cara yang benar.
Mungkin karena saya kurang ilmu pengetahuannya, saya merasa bingung ketika ada orang tua yang tetap menyuruh anaknya masuk sekolah (dalam hal ini TK) ketika sedang sakit yang menular, baik itu penyakit pernafasan, kulit, dan semisalnya. Bukankah anak-anak kita ini adalah sosok yang berharga? Apakah lebih mudah menyerahkannya kepada pihak sekolah saat ia seharusnya beristirahat karena sakit?
Selain kesehatan anak kita sendiri, harus diingat bahwa anak didik yang lain juga berhak sehat atau tidak tertular penyakit dari anak kita. Berdasarkan pengalaman saya, sebagian orang tua tak terlalu ambil peduli soal ini.
Saya punya tebakan soal anak yang sakit dibiarkan masuk sekolah TK oleh orang tuanya. Pertama, jika anak tersebut diserahkan ke sekolah, orang tua bisa lebih leluasa melakukan apa yang mereka mau (bisa santai). Kedua, karena tuntutan finansial, orang tua terpaksa melakukannya dalam rangka mencari rezeki.
Jika ternyata yang terjadi adalah seperti tebakan yang kedua, saya sungguh maklum. Saya pun pernah merasakan betapa sakitnya tak pegang uang. Tapi jika kenyataannya adalah tebakan saya yang pertama, maka saya pikir memang ada sebagian manusia yang tak siap jadi orang tua, ia belum bisa mengalahkan egoisme yang membara di dalam dadanya.
Lama saya merenung setelah melihat kejadian nenek dan cucunya yang melintas di depan rumah saya. Akhirnya saya menyadari, setiap manusia cobaan-nya berbeda. Lelah itu biasa, tapi jangan lupa bangkit lagi. Bersantailah selagi bisa, namun jangan lupa berjuang seperti seharusnya.