Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sejatinya, Memaafkan Hanyalah Ilusi bagi Mereka yang Tak Mengerti

13 Agustus 2024   16:26 Diperbarui: 13 Agustus 2024   18:40 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay.com 

Apakah Anda masih ingat kasus kekerasan yang dialami seorang siswa di sekolah tinggi tertentu pada tahun 2000-an? Nah, setelah tahun kejadian itu, seorang teman baik saya berhasil mengenyam pendidikan di sana. Namanya Dudun (bukan nama asli).

Uniknya, ia masih merasakan kekerasan dengan dalih pembinaan yang dilakukan oleh oknum senior di kampus meski tidak intens. Mengenai hal ini, Dudun pernah mengatakan sesuatu kepada saya: "Melihat atap kampus dari kejauhan saja, saya sudah merasa mual. Mau muntah!"

Dudun mengatakan itu satu hari sebelum keberangkatannya kembali masuk ke asrama kampus. Karena saya tidak memahami apa yang dirasakannya, saya berkata sembarangan saja: "Kau terlalu berlebihan. Masa segitu saja kau sudah lemah?"

Ya ... dulu saya memang bodoh: sering merasa pintar padahal biasa saja, dan tidak punya empati kepada orang lain. Saya bersalah kepada Dudun dengan mengatakan hal yang tak pantas.

Maka, barangkali saya mendapat ujian "trauma" seperti yang dirasakan Dudun. Waktu itu saya difitnah oleh lebih dari satu orang di suatu tempat kerja, pada tahun 2021. Akhirnya saya memutuskan resign setelah mendapatkan penghinaan terhadap pribadi saya (bukan hasil kerja) oleh general manager di kantor tersebut.

Substansi kalimat penghinaannya kira-kira seperti ini: "Kau jangan bikin ulah dan bertingkah, masih ada anak-istrimu yang harus kau beri makan."

Fitnah-fitnah lain yang ditujukan kepada saya, masih mampu saya tahan, namun ketika sudah menyentuh urusan keluarga yang sama sekali tak ada urusannya dengan pekerjaan, maka itu berarti "sudah saatnya".

Kala itu, saya masuk kerja jam 11 malam, dan pulang jam 7 pagi. Jadi, biasanya jam 8 atau 9 malam, saya selalu tidur selama 30 sampai 60 menit supaya bisa bekerja secara maksimal.

Setelah saya mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut, 1 tahun setelahnya saya masih melakukan "rutinitas tidur" tersebut dengan tanda tanya di hati bentuk kesalahan macam apa lagi yang akan mereka tuduhkan kepada saya. Ya ... mungkin ini yang dinamakan trauma, pertama kalinya saya difitnah oleh orang-orang di sekitar saya.

Maka saya sekarang seratus persen membenarkan pernyataan Dudun bahwa trauma adalah nyata. Bukan omong kosong.

Cerita tentang pengalaman saya difitnah, secara garis besar bisa dibaca di sini dan di sini.

Pertanyaan besarnya: "Apakah saya mampu memaafkan dan melupakan?

Yang terjadi pada saya, lebih tepatnya adalah "kadang-kadang lupa, kadang-kadang ingat". Misalnya pada suatu periode tertentu, saya benar-benar melupakan kejadian yang mengubah seluruh sudut pandang saya terhadap kehidupan itu.

Namun di saat-saat tertentu, khususnya ketika hujan, biasanya saya teringat kembali tentang luka lama. Muncul emosi yang tiba-tiba membara entah dari mana.

Jadi dalam perspektif saya, jika seseorang disakiti begitu hebat, memaafkankan adalah "suatu masa lupa" belaka, atau telah terjadi keindahan yang luar biasa dalam hidup sehingga dapat menutup luka dalam periode tertentu.

Dari pengalaman, saya telah membuktikan bahwa "maaf" dan "lupa" itu satu paket. Jika seseorang sedang tidak lupa tentang kejahatan orang kepadanya, berarti dia sedang marah dan muncul sisi dirinya yang tak ingin memaafkan. Namun, jika ia sedang sibuk melakukan sesuatu yang membuatnya lupa untuk sementara waktu, atau muncul kebahagiaan lain yang mampu mengimbangi kesedihan, maka itulah arti dari memaafkan sebenarnya.

Biar jelas, memaafkan menurut versi saya adalah suatu keadaan di mana kita tak peduli lagi dengan masa lalu yang menyakitkan karena munculnya kebahagiaan yang setara atau lebih.

Jadi prinsip "memaafkan namun tak melupakan" atau "memaafkan lalu melupakan" itu sebenarnya tak pernah ada. Itu hanyalah ilusi bagi mereka yang kebingungan menerima amarahnya sendiri.

Marah adalah marah, sedih adalah sedih, kecewa adalah kecewa, lupa adalah lupa, ingat adalah ingat. Jangan kita menafikan kenyataan tentang perasaan. Jangan katakan maaf kalau memang masih marah. Biarkan waktu membasuh lara.

Seperti senja yang hanya bertahan sebentar di cakrawala, begitu pula dendam, ada waktunya nanti ia padam. Layaknya gelap di ujung subuh, ia akan terang pada akhirnya.

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun