Cerita tentang pengalaman saya difitnah, secara garis besar bisa dibaca di sini dan di sini.
Pertanyaan besarnya: "Apakah saya mampu memaafkan dan melupakan?
Yang terjadi pada saya, lebih tepatnya adalah "kadang-kadang lupa, kadang-kadang ingat". Misalnya pada suatu periode tertentu, saya benar-benar melupakan kejadian yang mengubah seluruh sudut pandang saya terhadap kehidupan itu.
Namun di saat-saat tertentu, khususnya ketika hujan, biasanya saya teringat kembali tentang luka lama. Muncul emosi yang tiba-tiba membara entah dari mana.
Jadi dalam perspektif saya, jika seseorang disakiti begitu hebat, memaafkankan adalah "suatu masa lupa" belaka, atau telah terjadi keindahan yang luar biasa dalam hidup sehingga dapat menutup luka dalam periode tertentu.
Dari pengalaman, saya telah membuktikan bahwa "maaf" dan "lupa" itu satu paket. Jika seseorang sedang tidak lupa tentang kejahatan orang kepadanya, berarti dia sedang marah dan muncul sisi dirinya yang tak ingin memaafkan. Namun, jika ia sedang sibuk melakukan sesuatu yang membuatnya lupa untuk sementara waktu, atau muncul kebahagiaan lain yang mampu mengimbangi kesedihan, maka itulah arti dari memaafkan sebenarnya.
Biar jelas, memaafkan menurut versi saya adalah suatu keadaan di mana kita tak peduli lagi dengan masa lalu yang menyakitkan karena munculnya kebahagiaan yang setara atau lebih.
Jadi prinsip "memaafkan namun tak melupakan" atau "memaafkan lalu melupakan" itu sebenarnya tak pernah ada. Itu hanyalah ilusi bagi mereka yang kebingungan menerima amarahnya sendiri.
Marah adalah marah, sedih adalah sedih, kecewa adalah kecewa, lupa adalah lupa, ingat adalah ingat. Jangan kita menafikan kenyataan tentang perasaan. Jangan katakan maaf kalau memang masih marah. Biarkan waktu membasuh lara.
Seperti senja yang hanya bertahan sebentar di cakrawala, begitu pula dendam, ada waktunya nanti ia padam. Layaknya gelap di ujung subuh, ia akan terang pada akhirnya.
----