Satu tahun setelah kegiatan lapak tersebut, Varli Pay Sandi mengubah sebagian bangunan rumahnya menjadi Taman Baca Masyarakat (TBM) yang bisa diakses siapa pun, khususnya anak-anak yang tinggal di sekitar rumahnya.
Kami semua sepakat menyebut TBM tersebut dengan nama "Sarang". Lebih lengkap informasi tentang Sarang sudah pernah saya tulis di Kompasiana, silakan cek tulisan tersebut di sini.
Di Sarang, pengunjung tidak hanya disuguhkan buku-buku, baik dari penulis lokal maupun luar Kalbar, namun juga dapat mengikuti diskusi berkualitas yang diselenggarakan oleh para pengurus.
Kala itu, Sarang sering didatangi para pegiat literasi dari seantero wilayah Kota Pontianak, sehingga secara otomatis menciptakan ekosistem yang unik.
Pada kondisi inilah, para pengunjung tak sekadar membaca buku, namun juga bisa bertukar pikiran tentang buku yang ia baca atau membahas hal-hal lain seputar ilmu pengetahuan, bisnis, dan sebagainya.
Tentu saja metode investasi agar bisa sejahtera di masa tua tidak diajarkan banyak, atau mungkin tak pernah diajarkan sama sekali, di lingkungan sekolah formal. Maka di Sarang, pengunjungnya dapat bertanya secara gratis jika kebetulan ahlinya sedang berkunjung.
Banyak juga pertanyaan, kala itu, dari anak-anak SMA apakah mereka bisa menerbitkan buku dengan biaya yang bersaing. Di Sarang inilah terdapat jawabannya. Nasihat yang dibutuhkan akan mereka dapatkan secara gratis dan tuntas.
Namun, seperti urusan-urusan yang didasari keikhlasan semata lainnya, Sarang juga disertai kelemahan. Misalnya, tidak selalu ada narasumber di Sarang ketika ada pemuda-pemuda yang ingin berdiskusi, karena kami memang tidak mungkin memaksa narasumber tersebut untuk datang pada hari-hari tertentu tanpa keuntungan ekonomi baginya.
Terkadang juga Sarang kehabisan sumber daya untuk sekadar menjamu tamu-tamu "elite" yang berkunjung dan memberikan diskusi gratis sesuai bidang keilmuan mereka.
Maka jika muncul pertanyaan seperti ini: "Apakah taman bacaan bisa menjadi harapan baru di dalam dunia pendidikan?"Â