Bekerja dalam bidang apa pun pasti ada resiko-nya. Kurang-lebih begitu kata orang-orang bijak. Tidak salah juga, sih.Â
Namun hal paling penting yang harus kita pahami sebagai seorang pekerja adalah hikmah yang terkandung di dalamnya.Â
Karena jika tidak, orang-orang yang bekerja pontang-panting seperti saya (dan mungkin Anda), akan kehilangan lima puluh persen kewarasan.
Bagaimana mungkin? Tentu saja bisa. Bekerja mati-matian untuk "mengejar dunia" berpotensi mengubah seseorang menjadi kejam. Saya yakin, para atasan yang kejam di tempat kerja Anda adalah orang yang baik hati ... dulunya.
Tetapi atas nama "target, pangkat, jabatan, kenaikan gaji, dan sejenisnya" telah memaksa orang-orang itu membunuh nurani.Â
Hal tersebut disebabkan kurangnya pemahaman bahwa rezeki dari Tuhan YME itu tak akan tertukar, tingginya rasa takut, dan tak pernah menghiraukan nilai-nilai di tempatnya bekerja.
Dulu, ketika masih bekerja di sebuah lembaga keuangan, saya melihat betapa banyak orang-orang sukses yang memutar uang sehingga mendapatkan profit berlipat ganda. Sayangnya, mereka yang hancur akibat tak mampu membayar utang juga tak kalah banyak.
Suatu sore, sekitar tahun dua ribu tiga belas silam, senior saya di kantor mengangkut benda yang biasanya kita sebut mesin jahit ke dalam gudang kantor. Ia mengatakan hal tersebut dilakukan lantaran Bu Tini (bukan nama asli) sudah tak bisa lagi membayar kewajibannya.
Senior saya yang biasanya tampil elegan dengan kata-kata manis itu telah berubah drastis dalam waktu sekejap. Tak jauh beda dengan preman di pasar.
Ketika pulang kerja, saya melewati sebuah rumah yang tak jauh dari kantor. Di teras depan yang suram, Bu Tini tampak menahan tangis sambil menemani kedua anak balitanya bermain di situ. Sesekali ia menyeka lelehan air yang lolos dari kelopak mata.
Data-data Bu Tini yang pernah saya baca menunjukkan bahwa ia adalah orang tua tunggal. Menjahit merupakan mata pencaharian utama-nya untuk melanjutkan hidup. Sekarang alat penyokong rezeki mereka sedang diam membisu di sudut gudang.
Tapi begitulah kapitalisme, tak bisa saya bilang siapa yang salah, semua hanya tentang sistem yang harus bergulir sebagaimana mestinya.Â
Akan tetapi saya menolak untuk berubah menjadi kejam. Beberapa bulan setelah kejadian itu, saya mengundurkan diri setelah mendapatkan pekerjaan di tempat lain.
Saya bukan orang kaya (banyak harta, asset, dan sejenisnya), tapi setidaknya saya berusaha agar tak menjadi orang yang miskin hati. Saya pantang!
Khususnya bagi manusia berdosa seperti saya, bekerja, selain bertujuan mencari uang juga sebagai sarana pengampunan.
Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabrani, Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang di waktu sore merasa lelah lantaran mencari nafkah, maka di saat itu diampuni dosa baginya."
Namun tentu saja, hal tersebut tidak berlaku jika dalam bekerja kita berlaku zalim terhadap orang lain. "Zalim" menurut KBBI adalah orang yang melakukan perbuatan aniaya yang merugikan dirinya sendiri dan/atau orang lain.
Menurut pandangan saya, khusus dunia kerja, jika mau bebas dari sumpah sumpah serapah, kuncinya adalah berusaha menjauhi sikap zalim kepada siapa saja.
Imam Muslim meriwayatkan perkataan dari Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam: "Barangsiapa yang mengambil hak seorang muslim, maka Allah telah mewajibkan neraka baginya dan mengharamkan surga baginya. Ada seorang yang bertanya: 'Walaupun sesuatu yang remeh/sedikit wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Walaupun cuma sepotong kayu arak.'"
Jadi, berdasarkan pemahaman saya ketika menyelami hadis tersebut, sebenarnya dunia kerja itu bisa aman sentosa apabila hak dan kewajiban seimbang. Itu saja, sederhana. Tapi kenyataan-nya di lapangan, tak mudah dilakukan. Entah apa sebabnya.
Saya tetap berkeyakinan bahwa semua manusia pada dasarnya baik budi, namun keserakahan mengubah semuanya.Â
Gara-gara hal tersebut, para oknum pemberi kerja sanggup menjadi sadis, sementara para oknum yang diberi pekerjaan menjadi asal-asalan dalam bekerja.
Solusinya? Maka kedua belah pihak harus kembali sebagaimana mereka masih kecil dulu. Banyak-banyak baca kitab suci, sering-sering mendengarkan ceramah pemuka agama. Itu saja dulu, tak usah muluk-muluk.***
----
Dicky Armando, S.E. - Pontianak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H