Mata Tamat berbinar-binar ketika menyelesaikan halaman terakhir dari buku kumpulan cerita pendek yang telah ia kerjakan sejak sebelas bulan lalu. Ia memang bercita-cita menjadi sastrawan besar di Ponville.
Pria lulusan universitas jurusan sastra itu pun berharap, kelak ia akan meninggalkan bangunan indekos busuk yang sekarang menjadi naungan-nya.
Tamat mengirimkan naskah karyanya kepada sejumlah penerbit, baik di Ponville maupun di luar kota. Hasilnya masih nihil.
Penerbit-penerbit buku zaman sekarang lebih menyukai cerita-cerita cinta, perselingkuhan, perebutan harta, dan hal-hal konyol sejenisnya. Konon, perkara seperti itu lebih diminati pembaca.
Sementara karya Tamat merupakan kumpulan suara-suara rakyat kecil yang baru akan ditindaklanjuti ketika sudah masuk koran atau menjadi topik utama perbincangan warganet.
Sebenarnya Tamat paham betul halangan yang ada di depannya. Namun ideologi adalah kemewahan terakhir yang ia miliki dalam hidup, selain motor bebek butut yang menemaninya ke mana saja.
Belum lagi minat baca masyarakat Ponville yang lebih senang membaca deskripsi di marketplace.
Berbulan-bulan belum menampakkan sesuatu yang berarti, Tamat memutuskan akan menerbitkan karya-nya secara mandiri.
Oleh karena itu, Tamat semakin rajin bekerja paruh waktu sebagai tenaga kebersihan di sebuah toko.
Tempatnya bekerja itu adalah toko yang menjual alat-alat untuk menjahit. Kebanyakan pembeli yang datang adalah orang-orang yang berumur tiga puluh sampai enam puluh tahun. Tamat mengamati. Sementara anak-anak muda di Ponville lebih tertarik dengan kafe gaul yang menjual kopi tak enak dengan harga selangit, ketimbang mengisi waktu dengan belajar menjahit.