"Difitnah seperti apa?" tanya saya penasaran.
"Dulu atasan saya sangat sering melontarkan kalimat amarah yang tak berdasar. Saya tak pernah melakukan apa yang dituduhkannya. Namun orang-orang baik hati di sekitar saya memberitahukan bahwa Pak H adalah dalangnya."
"Apa yang Papa lakukan setelah itu?"
Papa menambah nasi di piringnya. Bercerita tentang masa lalu sepertinya membuat ia tambah lapar. "Tak ada. Cukuplah Allah SWT sebagai penolong. Berdoalah. Doakan dia yang baik-baik. Biarkan Allah SWT yang mengurus keadilan yang seharusnya."
"Bagaimana keadaan Pak H kemarin?"
Lagi-lagi papa menghabiskan teh es di dalam gelasnya yang tadi sudah diisi ulang oleh mama. "Dia seperti orang hilang ingatan. Pak H tak mengenal satu pun dari kami yang mengunjunginya, padahal dulu satu kantor semua."
Cerita papa membuat saya teringat tentang orang-orang yang memfitnah saya di tempat kerja yang lama. Dalam benak, saya bertanya-tanya apakah mereka akan mendapatkan akhir seperti Pak H, ataukah mereka nanti urusannya di pengadilan akhirat saja?
Papa berkata lagi, "Intinya begini, kalau kamu dizalimi oleh orang lain, maka doakan dia yang baik-baik saja. Karena ketika kita dizalimi, itulah saat yang tepat bagi kita mengadu kepada Allah SWT, dan meminta dikabulkan apa yang menjadi harapan dan hajat. Jangan melakukan atau berkata hal-hal yang tidak baik."
Saya mengangguk setuju. Papa sedang mengajari anaknya bagaimana menjalani hidup sesuai dengan syariat Islam.
Setelah selesai makan, kami berdua menonton televisi. Tayangan yang disajikan adalah mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah di masa pandemi. Perang argumen dimulai. Tensi meningkat, suara papa mulai naik. Saya pakai jurus sindir dan perbandingan antar pemimpin sebelumnya.
Mama saya di kursi belakang tutup telinga.