Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Elegi Penyair Pontianak

28 April 2021   15:02 Diperbarui: 28 April 2021   15:08 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay.com

Saya mengutip teori Ian Watt mengenai konteks sosial pengarang, diambil dari artikel "Teori Pendekatan Sosiologi Sastra Menurut Ian Watt" yang diterbitkan oleh Tirto(dot)id. Ada beberapa hal yang menjadi poin penting:

  • Bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya. Apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau masyarakat langsung, atau dari kerja rangkap.
  • Profesionalisme: sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
  • Hubungan antara pengarang dan masyarakat. Masyarakat yang dituju ikut menentukan bentuk karya dan isi karya sastra.

Merujuk pada keadaan Kota Pontianak, saya meyakini penyair menghidupi dirinya dengan melakukan pekerjaan lain. Lalu, saya juga belum pernah menemukan seseorang di kota ini yang memperkenalkan dirinya sebagai penyair profesional. Hal menarik pada poin ketiga. Barangkali sebagian orang di sini memberikan tepuk tangan paling meriah dan pujian indah kepada penyair setelah membacakan sebuah puisi di atas panggung. Namun begitu ditawarkan karya puisi untuk dibeli, belum tentu ada yang mau.

Maka jangan heran kalau semakin sedikit penyair di Kota Pontianak mengangkat tema-tema sosial. Kecewa-nya sudah akut, atau mungkin khawatir sia-sia.

Masa sekarang yang apa saja perlu duit memberikan tantangan tambahan kepada para penyair. Perut harus terisi, keluarga di rumah wajib makan, sementara puisi-puisi berdebu di bawah jendela kamar menunggu untuk dibacakan pada acara sastra yang entah kapan terselenggara lagi.

Mau menerbitkan buku puisi secara mandiri? Untuk makan sehari-hari saja sudah ngos-ngosan.

Bantuan dari pemerintah? Tak perlu kita bahas-lah, ya. Sekarang penyair-penyair Kota Pontianak jalan-nya tak lagi sunyi, sesak, bahkan keruh. Jalur penyair ini adalah tempat di mana sebagian manusia siap kesepian di tengah keramaian.

Jadi rasanya tidak berlebihan kalau saya sebut "elegi", bukan?

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun