Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penjahit Sepatu yang Seharusnya Tidur

12 Desember 2019   14:37 Diperbarui: 12 Desember 2019   14:41 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mau jahit sepatu, Nak?" tanya orang tua itu ramah.

"Tidak, Pak. Tapi saya punya hadiah untuk Bapak," ujar Dimas sambil membentangkan spanduk.

Pria tua itu menangis, lalu memeluk Dimas dengan erat. Dimas juga memberikan sebungkus nasi serta ayam goreng hangat kepada si Penjahit Sepatu yang bernama Nasir itu.

"Saya tidak tahu harus berkata apa, Nak. Kamu berhati mulia," kata Pak Nasir dengan mata berkaca-kaca.

'Tidak perlu. Bapak Hanya perlu memasang spanduk di sini, dan segeralah habiskan nasi bungkus itu."

Pak Nasir meraba-raba spanduk yang cantik itu cukup lama, ia kagum, belum pernah terpikirkan olehnya untuk melakukan promosi seperti ini. Lagipula ia tak punya cukup uang untuk membiayai pencetakannya.

Setelahnya Pak Nasir menghabiskan nasi bungkus, sesekali ia menjilati tangannya yang terkena bumbu rendang, dia tipe orang zaman dulu yang makan tanpa sendok, sementara Dimas memperhatikan orang tua tersebut dengan tulus hati.

Kurang dari lima menit, habis sudah nasi bungkus itu. Dimas pun pamit. Sekali lagi Pak Nasir memeluk Dimas sebagai ungkapan terima kasihnya. Tak berapa lama, si Penjahit Sepatu itu kembali duduk. Dadanya terasa sesak, begitu pula kepalanya, seakan dunia berputar. Kurang dari dua menit, akhirnya Pak Nasir meregang nyawa. Racun misterius yang dicampur Dimas dalam tinta spanduk bekerja sangat efektif. Meski hanya sedikit saja yang terpapar ketika Pak Nasir memegang spanduk tersebut dengan rasa takjub.

"Satu penderitaan telah usai, Pak Nasir sudah terlalu lelah menjalani hidup. Sudah saatnya ia istirahat dengan tenang," ujar Dimas dalam hati. Ia lalu mengendarai sepeda motornya menuju matahari senja yang memancarkan kesedihan.

***

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun