Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penjahit Sepatu yang Seharusnya Tidur

12 Desember 2019   14:37 Diperbarui: 12 Desember 2019   14:41 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap pagi jalanan di Kota Pontianak begitu ramai, dipenuhi para karyawan yang berpakaian rapi dengan segudang pikiran dan beban di kepalanya. Tidak ada lagi suasana sejuk pagi, apalagi kicau burung. Berganti dengan ketegangan mencari uang demi perut masing-masing.

Dimas, seorang karyawan swasta yang bekerja di bidang penjualan bahan-bahan kimia selalu lewat jalan yang sama dari rumahnya menuju kantor. Tidak ada pemandangan yang istimewa sebenarnya, sampai suatu hari seorang tua duduk di bawah sebuah gapura gang, sambil membawa tas. Pria dua puluh tujuh tahun itu berpikir bahwa orang tersebut hanyalah musafir biasa.

Hari kedua, orang tua tersebut masih ada. Wajahnya terlihat sangat lelah, sementara terdapat beberapa gulungan benang di hadapannya. Dimas pikir pastilah orang tua itu seorang penjahit atau perajin layang-layang meski di langit Pontianak sudah jarang dihiasi layangan. Anak-anak lebih suka berdiam diri dengan smartphone ketimbang bermain di tanah lapang.

Hari ketiga, tidak banyak berubah keadaan orang tua itu, kecuali bertambahnya sepatu-sepatu usang yang menandakan dirinya adalah seorang penjahit sepatu. Sampai sore ketika Dimas pulang kerja, keadaan si Penjahit Sepatu semakin menggenaskan, ia terbaring sembari memegang perutnya. Kelaparan.

Dimas memperhatikan sekitar tanpa beranjak dari sepeda motornya. Terlihat mobil-mobil dan orang-orang yang berpakaian bagus-bagus di jalanan. Ternyata sebagian masyarakat Kota Pontianak hidupnya lumayan mewah. Dimas lalu teringat tentang jurnal penelitian yang dilakukan oleh New York University. Diketahui bahwa orang yang kaya dan mengalami kemakmuran, secara tidak sadar menjadi kurang memperhatikan sesamanya.

Sampai di rumah, Dimas berpikir keras agar si Penjahit Sepatu tidak lagi menderita. Ia menuliskan beberapa rencana di secarik kertas mengenai apa yang akan dilakukan untuk mengubah keadaan seperti ini. Mulai dari memberikan makanan, uang, dan lain-lain.

Terpikir juga soal promosi. Pria tua itu sebenarnya mungkin punya keahlian yang baik dalam memperbaiki sepatu, tetapi orang-orang tidak tahu apa yang dilakukannya di bawah gapura itu, hanya terduduk dan termangu. Barangkali ia hanya dianggap seorang tunawisma atau apalah itu. Jasa yang ditawarkan tidak eye catching, sehingga awareness terhadapnya menjadi sangat minim.

Dunia marketing sangat dinamis. Dimas meyakini generasi tua seperti si Penjahit Sepatu pasti masih hidup di masa lalu. Akhirnya ia memutuskan akan membuatkan sebuah spanduk yang bisa membuatnya "terlihat" sedang menjalankan sebuah bisnis.

Pemilihan warna yang bagus sudah dipilih oleh Dimas. Spanduk berwarna dasar hitam dengan tambahan tulisan "Jahit Sepatu" berwarna kuning emas membuat benda itu tampak sangat elegan.

Tak menunggu lama, sebuah spanduk berukuran enam puluh sentimeter kali seratus enam puluh sentimeter dipesan keesokan harinya. Totalitas, itulah prinsip yang dipegang Dimas dalam hidupnya. Ia bahkan memberi tinta khusus untuk proses pencetakan spanduk. Tinta tersebut telah ditambahi ramuan khusus dari bahan-bahan kimia yang diketahuinya.

Setelah spanduk selesai dibuat, segera Dimas menghampiri si Penjahit Sepatu.

"Mau jahit sepatu, Nak?" tanya orang tua itu ramah.

"Tidak, Pak. Tapi saya punya hadiah untuk Bapak," ujar Dimas sambil membentangkan spanduk.

Pria tua itu menangis, lalu memeluk Dimas dengan erat. Dimas juga memberikan sebungkus nasi serta ayam goreng hangat kepada si Penjahit Sepatu yang bernama Nasir itu.

"Saya tidak tahu harus berkata apa, Nak. Kamu berhati mulia," kata Pak Nasir dengan mata berkaca-kaca.

'Tidak perlu. Bapak Hanya perlu memasang spanduk di sini, dan segeralah habiskan nasi bungkus itu."

Pak Nasir meraba-raba spanduk yang cantik itu cukup lama, ia kagum, belum pernah terpikirkan olehnya untuk melakukan promosi seperti ini. Lagipula ia tak punya cukup uang untuk membiayai pencetakannya.

Setelahnya Pak Nasir menghabiskan nasi bungkus, sesekali ia menjilati tangannya yang terkena bumbu rendang, dia tipe orang zaman dulu yang makan tanpa sendok, sementara Dimas memperhatikan orang tua tersebut dengan tulus hati.

Kurang dari lima menit, habis sudah nasi bungkus itu. Dimas pun pamit. Sekali lagi Pak Nasir memeluk Dimas sebagai ungkapan terima kasihnya. Tak berapa lama, si Penjahit Sepatu itu kembali duduk. Dadanya terasa sesak, begitu pula kepalanya, seakan dunia berputar. Kurang dari dua menit, akhirnya Pak Nasir meregang nyawa. Racun misterius yang dicampur Dimas dalam tinta spanduk bekerja sangat efektif. Meski hanya sedikit saja yang terpapar ketika Pak Nasir memegang spanduk tersebut dengan rasa takjub.

"Satu penderitaan telah usai, Pak Nasir sudah terlalu lelah menjalani hidup. Sudah saatnya ia istirahat dengan tenang," ujar Dimas dalam hati. Ia lalu mengendarai sepeda motornya menuju matahari senja yang memancarkan kesedihan.

***

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun