Dalam kesehariannya, Edward adalah orang yang sangat baik hati. Dia bekerja sebagai petugas keamanan, dan digaji oleh negara X.
Alih-alih memukul manusia, menginjak semut pun ia tak tega. Sampai pada suatu hari, Edward harus berhadapan dengan aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka menuntut keadilan bagi seluruh rakyat.
Pada saat itu, Edward berubah sepenuhnya. Ia lebih iblis daripada iblis itu sendiri. Para calon penerus bangsa yang terjatuh di jalan, habis ditendang dan dipukulnya tanpa belas kasihan.
Edward berkilah bahwa ia hanya menjalankan perintah. Pembelaan seperti ini barangkali sudah sering kita dengar. Basi, mungkin itu kata yang tepat menggambarkannya.
Manusia punya hati nurani, tetapi pada akhirnya kita harus memilih antara hati nurani dan rasa takut tak mendapatkan gaji lagi.
Saya sangat tertarik soal upah dan gaji ini. Karena jujur, saya pun pernah dalam kondisi harus memilih gaji, ketimbang ajaran agama.
Dalam ajaran yang saya yakini, bahwa riba itu haram, sementara itu saya masih bekerja di sebuah lembaga keuangan yang menghalalkannya. Alasan saya tak jauh beda dengan Edward: hanya menjalankan tugas belaka.
Hari demi hari saya jalani dengan pembelaan itu. Suatu saat, ada suara yang muncul dari dalam hati. Bunyinya seperti ini: "Kalau kau berani mengkhianati Tuhan, maka mudah saja bagimu mengkhianati siapa saja."
Saya tertegun, memikirkan ulang segala yang pernah dilakukan selama ini beserta pembelaannya. Pada satu sisi, jika saya keluar dari pekerjaan, maka saya akan kehilangan gaji. Kalau tidak keluar, rasa-rasanya benar bahwa saya ini pengkhianat Tuhan.
Kalau dihitung-hitung, entah sudah berapa keluarga yang saya jerumuskan dalam kubangan utang uang. Jangan-jangan kalau dikonversi dalam bentuk karung, tumpukan dosa saya sudah setinggi gunung Himalaya.
Lagi-lagi saya sampai di sini, di persimpangan jalan hidup yang suka tak suka, mau tak mau, harus dipilih: antara melarat dan tetap kenyang. Dua hal itu menjadi mimpi buruk saya selama berminggu-minggu.
Dalam kebimbangan, seorang teman menunjukkan saya sebuah kutipan dari media sosial: "Kenapa kau harus takut miskin, padahal kau adalah hamba dari Tuhan yang sangat kaya."
Akal sehat dan rasa takut bertarung dalam batin saya. Pada akhirnya, saya memilih untuk mengikuti hati nurani. Saya melepas segala fasilitas dari perusahaan yang bergerak di bidang riba tersebut.
Ada faktor pembeda antara Edward dengan saya, dan saya tidak bermaksud menyalahkan dia. Saya hanya pekerja kontrak, sementara Edward digaji oleh negaranya, serta akan mendapatkan uang pensiun secara rutin nanti pada saatnya tiba. Wajar kalau dia harus berpikir jutaan kali.
Coba kita tanyakan kepada diri sendiri, berapa banyak tugas-tugas yang bertentangan dengan akal sehat dan hati nurani yang kita kerjakan selama ini. Coba cari sebabnya. Saya yakin semua akan berujung pada apa yang mengisi dompet kita masing-masing.
Seandainya saya berada dalam posisi yang sama dengan Edward, maka saya pun pasti belum tentu kembali pada aturan agama yang saya yakini. Rasa takut itu memang seringkali menyebalkan.Â
Padahal kalau dipikir ulang, orang tetap bisa hidup dengan bercocok tanam atau beternak, tanpa uang. Tapi kehidupan zaman modern tidak mengizinkan gaya hidup seperti itu lagi.
Rasa nyaman, takut, dan "ingin selalu lebih", menjadikan manusia zaman ini memilih untuk tidak mengindahkan hati nurani dan akal sehatnya. "Yang penting kenyang" menjadi akal sehat yang manusiawi, hanya berkata "kasihan" sudah cukup menjadi tanda hati nurani. Sampai di situ kadang kita tersesat.
Beruntunglah orang-orang yang mendapatkan gaji atau upah, dan tetap memiliki kesadaran dan jiwa yang murni dalam kesehariannya. Meski nominal di kantong Anda tidak besar, tapi percayalah, banyak orang yang iri dengan kehidupan tenang yang Anda nikmati setiap harinya.
Saya, Anda, dan siapa pun di dunia ini pasti butuh materi untuk menunjang kehidupan. Itu wajar, yang tidak normal adalah ketika kesenangan dunia mengisi kekosongan jiwa, dan kita membiarkannya secara sadar.***
Dicky Armando, S.E.-Pontianak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H